Showing posts with label hobi. Show all posts
Showing posts with label hobi. Show all posts

Sunday, May 22, 2011

Saturday


(hasil buruan hari ini)

"Hot motel. Stuffy inside. I know well. This eleven walls…."

Hari ini saya tidur jam dua pagi. Salahkan drama Rebound. Saking menariknya, saya harus menonton tiga episode berturut-turut kemarin malam. Saya tidur dan bermimpi indah. Ceritanya Arien pulang dari Turki dan pergi ke kampus sambil membawa Aediz, anak Turki umur 6 tahun yang skala gantengnya 12 dari 10. “Kriiing!” tiba-tiba weker saya berbunyi. Asem.

Saya bangun dan melihat jam. 06.30. “Masih pagi”, pikir saya yang lanjut narik sarung, setel weker, dan tidur lagi. “Kriiing!” kembali weker saya berbunyi pada pukul 08.00. Kali ini bebunyiannya berpadu dengan simfoni pagi hari. Yang tak lain dan tak bukan dalah suara dak dak duk duk tukang yang lagi bongkar kosan. Karena annoying, saya memutuskan untuk bangun. Bangun beneran. Sebelum itu, saya matikan dulu weker yang suaranya tidak kalah annoying. Bergulinglah saya ke ujung kasur dan berusaha menggapai weker yang ada di lantai . Saya rentangkan tangan dan meregang tubuh. Tiba-tiba….

”KLEK!” muncul bebunyian dari bagian belakang tubuh. Alamak, otot bahu saya tertarik. Saya coba ngulet. Ampun, Nyeri sekali. Tergopoh-gopoh saya bangun mencari Salonpas. Sambil meraba-raba barang di kamar, saya tidak pake kacamata, ketemu juga koyo ini. Susah payah, saya memasangnya di bahu kiri. Dua sekaligus. Bodo deh udah bau Salonpas pagi-pagi. Bahu-bahu sendiri.

Kemudian saya menyalakan dispenser dan memanaskannya sebagai persiapan ngopi. Ga ngopi ga melek, dan ga bisa ngopi kalo ga ada air panas. Sembari menunggu airnya panas, saya sikat gigi (sebenarnya saya ini rajin lho. Rajin sikat gigi :p). Selesai. Buka pintu. Keluar kamar mandi. Dan saya tersandung kabel dispenser yang meilntang di depan pintu amar mandi. Kali ini kaki kiri saya yang jadi korban.

“Klik!” dan sumpah itu nyeri sekali. Sangat nyeri, sehingga saya memutuskan ngesot untuk membuat kopi, dan segera naik ke kasur bawah.

Mengingat bahu dan kaki kiri sudah (sedikit) cedera, dan ini hari Sabtu, saya memutuskan untuk berdiam diri di kasur. Oke, tidak hanya tidur di kasur tapi juga menonton dorama. Satu episode Rebound dan dua episode BOSS season 2 ditonton sambil sesekali twitteran. Menginjak jam 11, rasa lapar yang mendera memaksa saya ngesot untuk menyeduh Milo Fuze. Kemudian saya tidur-tiduran lagi.

"Coffee break. Lunch at noon. Pumpernickel steak. Green and orange room…"

Menjelang tengah hari, ada mention masuk. Mbak Pulung menawari saya dan Ocha Gorgom pancake buatannya (yang sumpah enak banget itu). Saya tergoda, tapi saya belum mandi dan tubuh ini terlalu malas untuk bergerak. Selang beberapa waktu, muncul sms dari Gorgom. “Ayo ke tempat mbak Pulung, ga usah mandi. Cumuk gogi aja” (cumuk gogi = cuci muka gosok gigi) . Aha! Saya cepat-cepat cumuk gogi, menuju markas Gorgom, dan kami berdua menuju ke rumah Mbak Pulung.

Selanjutnya Kak Maya dan Gorgom, dua mahasiswi di akhir bulan yang kelaparan tapi terlalu malas untuk sarapan, pun sampai. Kami segera disuguhi Pancake yang legendaris itu. Saya makan lima, dan Gorgom makan lima. Jadi totalnya kami mengonsumsi sepuluh buah pancake. Lapar atau memang rakus sih? Dua-duanya.

Sampai sore kami ada di sana. Ngapain? Emmm…ya ngobrol-ngobrol biasa aja sih. Tentang Dir En Grey, tentang majalah Elle (di mana saya dan Gorgom takjub dengan banyanya iklan di majalah itu), hingga akhirnya mengenalkan Gorgom dengan Taemin. Selama itu, saya lebih banyak diam. Kenapa? Karena saya memang aslinya pendiam (“DUSTA!” kata pembaca). Bohong ding, saya konsentrasi menghabiskan pancake. Laper banget soalnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 saat kami keluar dari kediaman mbak Pulung. Tujuan selanjutnya? Toko Barkas! Lha? Ya ga papa sih. Berhubung kami selo (senggang), tak ada salahnya kami berkunjung ke sini. Lagi pula saya sedang ingin melongok koleksi Tomica yang lumayan lengkap di sini. Syukur-syukur dapat Tomica Limited atau Tomica Limited Vintage dengan harga miring. Di dalam, kami menemukan barang-barang menarik. Ada mesin cuci, kulkas, tv, alat pembuat kopi (yang sumpah lucu bang-get dan harganya cuma 50 ribu!), magic jar, oke…kok jadi terkesan seperti orang pindah rumah ya? Anyway, kami akhirnya masuk ke tempat mainan.

Setelah lama terpaku dengan replica Lambretta 125 D (yang sumpah keren banget), kami beranjak ke lemari Tomica. Tapi….tapi….saat melewati lemari kaca guede yang isinya action figure One Piece, mata saya tertumbuk ke deretan mobil-mobilan di bagian bawah. Saya jongkok dan mengamati. Saya lihat tulisan yang tertera di boxnya: TO-MI-CA. Warna kardusnya hitam, modelnya retro.

“MATI! Ini Tomica Domestic version. TOMICA Jepang.” Jerit hati saya. Harganya, 60 ribu. MATI. MATI. Saya langsung tergoda buat membeli. Saya buka dompet dan langsung lemes. Tinggal selembar 50 ribuan di sana. Untung Gorgom baik hati, “udah lu pake uang gue aja dulu” katanya. Uh, Gorgom memang berhati Rinto!

Kemudian kami mengelilingi tempat mainan. Di mana kami kegirangan dengan action figure Chibi Maruko Chan, terpesona dengan carousel kaleng yang sangat klasik (yang akhirnya membuat Gorgom tergoda untuk membelinya lain wakyu), dan banyaknya barang Doraemon di sana. Sungguh, kami seperti anak kecil yang dibawa ke toko kue. Girang dan tak berhenti-hentinya takjub.

Kami kembali ke tempat Tomica. Tekad saya bulat, beli Tomica Domestic. Namun kembali dilemma menyapa. Mau beli yang mana? Uh, saya bingung. Ada Subaru R2, Mazda Cosmo, dan mobil berwarna merah yang saya ga tahu merknya (karena dusnya pake tulisan Jepang. Semua). Gorgom menunjuk R2. Lucu dan imut katanya. Tapi saya tertumbuk dengan tulisan di pilar B mobil merah. CE-LI-CA. ARA! Ini Celica generasi pertama! Langsung saya ambil.

"We're on our way. Roll the windows down. And scream out loud. Oh! we're tired now…"

Setelah menebus Tomica dan gantungan kunci Spongebob milik Gorgom, kami mampir sebentar ke Indomaret untuk membeli Indomie dan menarik uang. Saya lunasi utang ke Gorgom dan kami pulang. Mampir sebentar ke Bakul kedai Siomay karena kami sudah merasa lapar luar biasa (padahal ya baru makan Pancake). Setalah itu kami pergi ke markas Gorgom. Dia pulang, dan saya balik ke kosan.

Sampai kosan, saya buka dus Tomica. Kok sepertinya ini retro sekali? Saya telusuri tulisannya. Ada angka tertera di atasnya. 35. Apa itu 35? Saya baca lagi. Ooo…ini edisi 35th Anniversaries. Iseng, saya coba browsing tentang seri ini.

Untuk kesekian saya bilang “MATI!” tapi bedanya, kali ini sambil tersenyum lebar. Mengapa oh mengapa (diucapkan pake nada lagu “Janjiku”, yampun saya lawas sekali)? Karena eh karena: 1. Itu adalah Limited Series, 2. Di eBay dan situs-situs lainnya, harga normal seri ini berkisar dari $19 – $25, 3. Harga seri Celica ini $25 (sekitar 200 ribu rupiah) dan saya dapat menebusnya dengan harga 60 ribu. Imma lucky b*stard, I am!

"Home I lay. After shower clean. I hit my head. And I dream…"

Sekarang ini yang saya lakukan. Sudah mandi. Sudah wangi. Duduk mengetik sambil menyesap Milo Fuze sambil merasakan mantapnya 3 lembar Salonpas di bahu saya. Bodo deh bau Salonpas, yang penting saya bisa tidur. Ciao!

(judul dan potongan lirik berasal dari lagu Saturday – Nelly Furtado)
Published with Blogger-droid v1.6.8

Thursday, May 19, 2011

Cah (replika) Mobil


Jadi saya suka mobil. Tapi saya tidak punya mobil. Oke, lebih tepatnya belum punya uang untuk membeli mobil. Namun orang bijak berkata “tak ada rotan akar pun jadi”. Tak punya mobil beneran, mobil-mobilan pun jadi. Itu yang saya lakukan.

Sejak kecil saya main mobil-mobilan. Mulai dari mobil-mobilan plastik, mobil remote control (maunya yang merk Nikko), Tamiya (merknya HARUS yang Tamiya), sampai mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali (yang modelnya itu-itu saja. Belum pernah ditemukan yang modelnya seperti Ferrari, misalnya). Praktis saya tidak pernah mengenal apalagi mengoleksi Barbie. Memang kelainan kok saya ini.

Saya dulu pernah berkecimpung di dunia Tamiya. Koleksi paling berharganya adalah Tamiya seri F1. Mobilnya Ferrari F1 1991 yang dikendarai Alain Prost. Harganya 50 ribu dan dibeli dengan membobol tabungan dua bulan (dulu setiap ujian dan tugas dapat nilai 100, saya diberi uang 500 rupiah untuk ditabung).

Tamiya satu ini angker sekali. Larinya jauh lebih kencang dibanding Super Astute atau Winning Bird milik sepupu yang jadi jagoan di kampung. Tidak heran, karena spesifikasinya kelas tinggi. Dinamo, chassis, roller, bahkan bannya memang dirancang berbeda dari Tamiya yang lain. Namun nasibnya berakhir tragis saat dia hancur berkeping-keping karena menabrak kulkas di rumah. Nangis saya.

Menginjak SMP, karena merasa sudah gede, saya berhenti main Tamiya. Mungkin sudah merasa tidak pantas dan merasa Tamiya membutuhkan banyak uang. Selai ditambah kesadaran jika mahir melilit kawat dinamo itu tidak berarti membuat saya mampu memahami rumus lilitan dioda #oposihcum.
Jadi saya beralih ke replika, replika mobil untuk tepatnya. Kenapa? Emm…soalnya dulu saya diberi replika Mercedes S-Class 2001 skala 1:18. And I thought that was a cool toy. Dan simsalabim jadi apa prok prok prok saya memutuskan mengoleksi replika.

Selain itu ada juga pemicu lainnya.

Sewaktu liburan kelas 2 SMP, saya menemukan katalog BBurago di rumah dan terpaku selama berjam-jam. Beberapa hari kemudian, kerjaan saya cuma bolak-balik-bolak-balik halaman katalognya. Pucuk dicinta ulam tiba, saat pergi ke Jakarta untuk liburan, saya dibawa ke Toys R Us yang ada di depan PIM. Maaaak! Saya bagaikan Alice di cerita “Alice in Wonderland” atau Dorothy di “Wizard of Oz”. Takjub. Girang. Senang bukan kepalang. Mainan. Mainan Mainan. Mainaaaaan! Sejauh mata memandang yang terlihat hanya mainaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan semua. Segera saya berlari ke bagian mobil dan mengambil kit Bburago.

Sedikit saya akan bahas beberapa merk replika yang ada di pasaran. Bukan, bukan yang sekelas Revell atau Amalgam. Selain saya tidak punya koleksiya, membahas dua merk ini hanya akan membuat saya terdorong membobol tabungan yang sudah disiapkan untuk membeli sepaket Shiseido seri White Lucent (percaya? Tidaaak!)

Hot Wheel

Merk yang paling gampang dicari. Sampai di Indomaret saja ada. Spesialisasinya mobil-mobil Amerika, tapi tidak tertutup ada seri mobil dari negara lain. Punya seri tertentu yang dikeluarkan dalam kurun waktu tertentu juga. Misalnya Muscle Car Series, Nostalgic Series, atau yang paling banyak dicari, Treasure Hunter. Favorit saya seri Ferrari Limited Edition. Namun koleksi yang paling berharga adalah Mini Cooper lansiran 2001. Sewaktu masih aktif di milis Tomoci, mobil ini pernah ditawar sampai 600 ribu padahal saya cuma beli 30 ribu. Tapi saya keukeuh ga mau menjualnya #bodohbanget.


Mini Cooper si Trouble Trouble Trouble

Biasanya mobilnya dimodif macam-macam, sampai sering terlihat aneh. Detailnya biasa banget karena merk satu ini sepertinya lebih menekankan ke modifikasi model. Skalanya berragam, kebanyakan 1:43 tapi ada juga yang skalanya sampai 1:8, biasanya untuk seri khusus seperti Ferrari Series
Range harga: 30 ribu – 2 jutaan.

Majorette

Merk dari Prancis dan sudah tentu spesialisasinya mobil-mobil Prancis. Jika ingin mencari replica Peugeot, Citroën, atau Renault, maka carilah merk ini di toko mainan. Detailnya termasuk buruk. Ambil contoh detail headlamp, misalnya. Alih-alih dicat, Majorette cuma menempelkan stiker untuk detail headlamp. Kekuatan utama merk ini ada di versi truk dan dioramanya. Detailnya sedikit lebih berkualitas. Namun yang lebih penting adalah variasi edisi dan pengaturan dioramanya yang bikin ngiler *ngelap iler*. Sampai sekarang saya ngidam diorama Majorette versi tim Citroen WRC.

Range harga: 25 ribu – 300 ribu (versi diorama)

Bburago

Merk asal Italia yang terkenal dengan kualitas detailnya yang luar biasa. Tidak sampai level detail Revell sih tapi tidak bikin malu lah jika disandingkan. bBurago adalah produsen yang ditunjuk sebagai official licensed product merk-merk eksotis seperti Lamborghini, Ferrari, Bugatti, dan Alfa Romeo. Jadi kebanyakan ya koleksinya merk merk itu.

Tidak seperti merk yang lain, produk Bburago memiliki skala yang besar. Berkisar dari 1:12 – 1:43. Terbagi dalam beberapa seri dan level. Misalnya seri Mille Miglia (seri mobil balap klasik), bijoux, diamond, hingga street fire (koleksi model kit skala 1:43)

Bburago juga memiliki dua kategori produk. Pertama, Kit, artinya anda harus merakit sendiri replikanya. Butuh ketelitian, ketekunan, dan tekad sekuat baja untuk merakitnya. Saya butuh waktu 3 hari untuk merakit sebuah Dodge Viper skala 1:24. Bagian tersulitnya adalah memasang decal. Karena bentuknya decal, bukan stiker, maka anda harus ekstra hati-hati saat memasangnya. Dan ini yang membuat pengerjaaannya lama (atau saya yang emang bego banget, ya?). Kedua ya bentuk jadi. Skalanya besar sih. Mantap kali lah jika punya itu. Tapi tantangannya ga ada, mahal pula.

Oh ya, Bburago ini juga mengeluarkan seri motor. Motornya? Ya, motor-motor Italia yang super stylish dan klasik itu.


Aprilia Scarabeo 500ie

Merk ini dulu sempat bangkrut dan berhenti berproduksi selama dua tahun. Syukurlah, Maisto datang dan menyelamatkan perusahaan yang bermarkas di Milan ini. Oh ya, setiap pembelian bBurago anda akan mendapat semacam kartu pos. Isi dan kirimkan maka anda akan mendapat katalog produk terbarunya. Dikirim langsung dari Negeri Pasta. Kedatangan katalog ini sempat membuat heboh orang rumah. “Maya, kamu kirim surat ke siapa? Kenapa kamu dapat kiriman pos dari Italia?” *dialog ini terjadi tahun 2003*

Rentang harga: 90 ribu – 1 jutaan

Matchbox

Saudara sepupu Hot Wheels. Spesialisasinya mobil-mobil klasik. Kualitas detailnya sedikit lebih bagus dari Hotwheel tapi belum mendekati level Tomica.


Atas: Austin Mini Van 1965. Bawah: Alfa Romeo Giulia Sprint GTA (yang sangat amat cantik sekali)

Rentang harga: 40 – 50 ribu.

Tomica

Merk yang paling banyak saya koleksi. Pertama, harganya relatif murah. Kedua, modelnya lucu-lucu. Ketiga, kualitas detailnya bagus. Lebih bagus dari Hot Wheels, Majorette, ataupun Matchbox.


Sama-sama Mini Cooper. Yang kiri Hot Wheels, yang kanan Tomica.


Semakin terlihat jelas dari belakang

Tomica merupakan merk yang kaya akan variasi. Ada banyak cara membedakan dan mengoleksi Tomica. Ada orang yang mengoleksi berdasarkan nomor seri(dari 1- 200), edisi (macam-macam mulai dari Doraemon sampai mobil Vintage), atau berdasarkan box. Box? Ya. Karena warna box Tomica menandakan tempat produksi mainan tersebut. Box putih-merah berarti Tomica yang dibuat di luar Jepang (biasanya di China, Malaysia, dan yang baru di Vietnam), box hitam-kuning berarti Tomica asli Jepang.


Tomica buatan Jepang. Harganya tidak masuk akal

Skala mainan produksi Takara Tomy ini relatif seragam, berkisar di angka 1:50 – 1:64. Pengecualian harus dialamatkan ke seri Tomica Limited. Sebuah edisi yang, seperti namanya, diproduksi secara terbatas dalam kurun waktu tertentu. Perbedaannya terletak di kualitas detail dan cat yang jauh lebih bagus, pintu yang bisa dibuka (hampir semua Tomica tidak bisa dibuka pintunya), dan skala yang lebih besar. Sebanding dengan harganya yang hampir tiga kali lipat Tomica biasa.


Tomica Limited. Bannya karet.

Dari sekian banyak Tomica koleksi saya, yang menjadi favorit adalah unit bus Doraemon, saya beli di Grand Indonesia (jauh-jauh ke mall belinya mobil-mobilan) dan unit Nissan Fairlady Z 432 dari edisi 40th Anniversaries. Begitu favoritnya, sampai harus saya tempatkan di box khusus dan dibersihkan seminggu sekali (rajin!).


Koleksi berharga saya, bus Doraemon dan Nissan Fairlady edisi Tomica 40th Anniversaries.

Rentang harga: 30 ribu (biasa), 60 ribu (edisi khusus), 75 ribu (Tomica Limited), 150 ribu (Vintage edition), 300 – 400 ribuan (Tomica box hitam-kuning)

PS: Konon di Tokyo ada toko khusus Tomica. Sepertinya saya langsung pingsan jika beneran masuk ke dalamnya.


Itu Tomica semua, kakak!? #pingsan

Sudah lama saya bermain replica. Semakin lama semakin banyak mobil-mobil mungil ini menyesaki kamar saya. Jika dihitung-hitung, nilai total semuanya bisa lah buat beli sepaket Shiseido. Eh gilaaaaaa! Aish, sudahlah, yang lebih mendesak sekarang adalah mencari tempat display mobil-mobil imut ini. Uraaaaa!

(sedikit catatan: toko Barkas di Jalan Gejayan memiliki koleksi replica yang lumayan lengkap dengan harga miring)

Wednesday, May 18, 2011

Majalah Mobil


Jika saya ditanya pekerjaan paling asoy di dunia, jawabannya ada dua. Satu, presenter Top Gear. Gimana ga asoy? Kerjaannya setiap episode adalah test drive mobil dengan cara ekstrim. Bagaimana tidak ekstrim jika sebuah Renault Megané dihancurkan hanya untuk mengetes keamanannya, menjatuhkan Toyota Hi-Lux dari lantai 10 hanya untuk mengetes ketangguhannya. mengendarai Ford Fiesta di sebuah mall sambil dikejar sebuah Corvette, atau (ini yang paling gila) mengendarai Renault Twingo di dalam terowongan bawah tanah. Edan memang otak tim produksinya.

Yang kedua adalah jurnalis media otomotif di Indonesia. Alasannya sederhana. Mereka ini adalah orang-orang beruntung yang bisa mendapatkan kesempatan mengetes mobil-mobil terbaru yang beredar di pasaran. Bayangkan, mereka bisa saja tidak punya sebuah mobil tapi kerjaannya ya test drive. Mobilnya? Apa saja. Mulai dari Xenia-Avanza, Suzuki Swift, Honda Jazz, Nissan Micra, hingga yang ajaib seperti Porsche Boxster. Asoy sekali bukan? “Bukaaaan!” Kata pembaca. Terlalu kalian! #ambilbatu #lempar

Mengingat saya ini suka mobil, rasanya kurang afdol jika tidak membahas majalah yang membahas tentang moda transportasi berroda empat ini. Kenapa harus majalah? Soalnya saya suka membaca. Wuih, saya terlihat sophisticated sekali saat menulis “gemar membaca”. Jadi terlihat seperti anak pintar dalam iklan layanan masyarakat “ayooo sekolah” dulu. Padahal alasan saya suka membaca majalah mobil ya karena rasanya lebih mantep saja. Majalah itu kan salah satu bentuk media cetak. Media cetak berarti ada gambarnya. Jika gambarnya bagus (baca: mobilnya oke dan fotonya keren), nanti bisa saya gunting dan ditempel di tembok kamar. Tidak bermutu memang.

Oke, jadi saya akan membahas tentang majalah otomotif di Indonesia. Mengapa majalah otomotif? Karena saya mengalami kesalahan pertumbuhan. Begitu bisa membaca, yang saya baca koran Suara Merdeka dan tulisan komposisi di kaleng Milo. Gede sedikit, saya bergaul dengan sepupu laki-laki yang maniak koleksi tabloid otomotif. Jadi saat teman-teman membaca Bobo, saya membaca Otomotif (terus kovernya digunting dan ditempel di kamar. Ah sudahlah, jangan banyak cingcong. Lebih baik saya ceritakan saja.

Secara garis besar, majalah otomotif ini dibagi jadi dua kubu: kubu local dan kubu asing. Kubu lokal merujuk pada media yang memang asli Indonesia, misalnya Otomotif. Sementara kubu asing merujuk pada media hasil lisensi yang terbit di Indonesia, misalnya Autocar atau Top Gear.
Nah jika dipecah lagi, akan ada buanyaaaaaaaaaaaaak macam media otomotif. Mulai dari yang umum, seperti Otomotif. Yang ditujukan jadi user guide, seperti Autobild. Yang menyasar komunitas tertentu, seperti JIP. Atau yang ditujukan untuk orang-orang selo yang memang gila mobil, misalnya Top Gear. Jangan kaget jika ragam media otomotif lebih banyak jika dibandingkan majalah untuk remaja putri.
Daripada kebanyakan membahas media yang ada satu-satu, lebih baik saya bahas saja media yang sering saya konsumsi.

Auto Bild
Auto Bild terbit sejak tahun 2003. Saya ingat jelas gambar sampulnya, mobil konsep Peugeot H2O. Terbit dua kali sebulan dengan harga 23 ribu. Jadi bisa dibilang ini adalah majalah paling up to date untuk masalah permobilan. Ini dibuktikan dengan banyaknya artikel first drive, artikel yang membahas kesan pertama sebuah mobil yang akan diluncurkan ke pasar, yang ada di majalah ini. Mengingat ini majalah lisensi, tentunya banyak artikel asing yang dimuat di dalamnya. Saya kasih jempol untuk tim penerjemahnya. Hasil terjemahannya enak dibaca dan bukan hanya sekedar menerjemahkannya lewat Google Translate. Artinya, masalah terjemahan ini memang digarap dengan serius.

Sejak tahun 2006, Auto Bild memosisikan dirinya sebagai costumer guide. Artinya majalah ini mengunggulkan artikel yang dirasa dapat menjadi petunjuk bagi konsumennya. Makanya anda bakal menemukan artikel komparasi produk pembersih interior, misalnya. Tapi yang paling berguna adalah price list mobil lama dan baru. Jika anda beniat menjadi makelar mobil, maka jadikanlah Auto Bild sebagai referensi utama setelah koran Pos Kota.


Ini tampilan daftar harganya. Setiap makelar mobil harus punya.

Rubrik Andalan: Tes Jalan, daftar harga, first drive.

Top Gear

Ini adalah versi cetak dari show mobil-mobilan yang dipandu trio Jeremy Clarkson – Richard Hammond – James May. Sama seperti shownya, majalah ini sangkil (sangat gokil) isinya. Kebanyakan diisi dengan artikel mimpi. Maksudnya artikel yang isinya membahas mobil-mobil yang hanya bisa kita miliki di dunia mimpi. Misalnya, Lamborghini, Ferrari, dan Maserati (kok merek Italia semua ya? ah bodo amat lah). Tapi itu bukan kelemahan majalah yang di Indonesia diterbitkan oleh grup Media Satu Grup ini. Karena segmen yang disasar Top Gear adalah para petrolhead, spesies manusia yang memang gila, cinta, dan menjadikan mobil sebagai bagian dari hidupnya. Halah!


Artikel yang isinya mempreteli Peugeot 207 GTI agar berlari lebih cepat. Cuma ada di Top Gear.

Mengingat dia adalah media yang sangkil, maka hal itu berimbas pula pada bahasa yang digunakannya. Jangan harap menemukan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD. Sebaliknya, anda akan menemukan majalah yang ditulis dengan slengean dan tidak memperhatikan kaidah penulisan. Aye aye, sir!
Satu-satunya kekurangan dari majalah ini adalah kualitas terjemahan yang terkesan ngasal banget. Tingkat kenikmatan membacanya jadi berkurang.

Rubrik Andalan : kolom Jeremy Clarkson (yang ngasal banget), extreme ride, semua artikel tentang sport cars dan tantangan ngawur mereka.

Auto Extreme
Merupakan majalah yang saya nobatkan sebagai “Top Gear ala Indonesia”. Ya, majalah terbitan Kompas Gramedia Grup (lagi!) ini adalah majalah yang menyasar segmen orang-orang yang gila otomotif. Setiap bulan, ada satu tema yang diangkat. Tema ini akan dibahas secara mendalam dalam setiap edisi. Mendalam banget hingga terkesan seperti membaca ensiklopedia. Misalnya jika bahasannya adalah Honda Civic, ya akan dibahas hingga ke akar-akarnya. Bahkan sampai ke silsilahnya. Bagi sebagian orang, mungkin useless membaca silsilah mobil, tapi percayalah, di tangan awak Auto Extreme, hal itu bisa menjadi asyik sekali untuk dibaca.



Silsilah keluarga Civic. Tidak penting? Pikir lagi *nggg*

Poin yang membuat Auto Extreme unggul dari Top Gear adalah bahasa penulisannya. Baku tapi tidak kaku. Enak, nyaman, nikmat sekali dibacanya. Istilah-istilah canggih dapat dijelaskan tanpa harus mengerutkan dahi. Fotonya? Mantap! Tidak kalah dengan hasil jepretan fotografer asing. Uang 40 ribu rasanya tidak terbuang sia-sia untuk membelinya.

Rubrik Andalan: (hampir) semua rubriknya.

Na itu dia majalah-majalah favorit saya. Sebenarnya masih banyak majalah otomotif yang pernah saya baca. Karena hanya tiga majalah inilah yang rutin saya beli. Kurang kerjaan? Mungkin. Tapi saya mending baca ini daripada baca tabloid Nova yang kovernya Anang-Ashanty. Kthxbye!

(catatan penting: hampir semua majalah otomotif di Indonesia berasal dari Kompas Media Group. Angkat topi lah untuk perusahaan satu ini)

Tuesday, May 17, 2011

Petrolhead

"I'm in love with my car. Gotta feel for my automobile. Get a grip on my boy racer rollbar. Such a thrill when your radials squeal" (I'm In Love with My Car - Queen)

Saya suka mobil. Waktu kecil, kegiatan yang sering saya lakukan adalah duduk di kursi supir mobil yang ada di rumah. Mobilnya waktu itu adalah Mitsubishi Colt keluaran 1983. Seiring berjalannya waktu dan membaiknya kondisi finansial, Colt tua itu berganti rupa menjadi Toyota Kijang, Isuzu Panther, bahkan sempat pula menjadi Peugeot 505 GTI keluaran 1989 (yang di kemudian hari menjadi mobil impian saya). Mobil boleh berganti, hobi duduk di kursi sopir tetap berjalan. Rasanya sangar sekali bisa duduk di sana, pura-pura menyetir, sambil mereka ulang adegan car chasing ala Knight Rider atau Viper (ada yang masih ingat serial ini?). Sampai-sampai hampir semua foto masa kecil saya posenya tidak jauh dari duduk di kursi mobil, nangkring di kap mobil, atau nyetir mobil-mobilan.

Selain hobi (pura-pura) menyetir, saya juga suka membaui mobil. Di masa mudanya, Soichiro Honda gemar mengendus-endus minyak yang tercecer saat sebuah mobil lewat di depannya. Beliau mengingatnya sebagai pengalaman yang “membuat jantung saya berdebar keras penuh gairah”. Sementara saya suka membaui asap yang keluar dari knalpot mobil. Sama seperti Honda, saya mengingatnya sebagai pengalaman yang mengasyikkan. Bagi saya bau asap knalpot itu lebih enak dibanding aroma cologne Johnson & Johnson. Mungkin karena hobi mengisap asap knalpot yang penuh NOx dan gas polutan itu, otak saya jadi agak rusak di kemudian hari.

Petrolhead (n) a person who is extremely enthusiastic about cars and driving, especially fast cars and motor racing, and who does not want to use any other sort of transport (Oxford Dictionaries)

Apakah saya petrolhead? Bisa iya, bisa tidak. Ya, jika ukurannya antusiasme terhadap mobil dan segala kegiatan yang berhubungan dengan setir mobil. Tidak, karena 1. Saya belum punya SIM A. 2. Saya belum punya cukup uang untuk membeli mobil sendiri. 3. Saya belum menemukan Peugeot 505 GTI 1989 atau Fiat Uno Turbo atau Honda Civic Estillo yang kondisinya oke dan mau dilepas pemiliknya. HUH!

Saya suka mobil. Kenapa? Karena bagi saya mobil itu punya “muka” dan “badan”. Aduh, bagaimana menjelaskannya ya? Jadi yang saya maksud “muka” mobil terdiri dari headlamp, lampu sein, gril, bumper depan, dan bonnet. Gabungan kesemuanya itu membentuk wajah sebuah mobil. Sementara “badan” merujuk pada bagian mobil di samping. Terdiri dari pilar A, pilar B, pilar C, dan pilar D. Gabungan kesemuanya ini bisa menghasilkan lekukan “badan” mobil.

Kriteria saya suka atau tidak dengan sebuah mobil lebih banyak dipengaruhi dua faktor itu. Wajah, misalnya. Favorit saya adalah Peugeot seri x05 (mis, 505 dan 405) dan x06 (206, 306 dan 406) “wajah”nya enak dilihat. Headlamp kotak, runcing, dengan gril memanjang, wuih…mobil-mobil itu terlihat seperti singa, dan singa adalah logo Peugeot. Makanya saya benci dengan Peugeot seri x07. Dengan lampu yang memanjang sampai bonnet, gril yang besar dan diletakkan di bumper, wajah mobilnya terlihat seperti orang meringis kesakitan. Itu jelek.



Ini bagus



Ini bencana

Masalah “badan”, saya suka dengan mobil yang bonnetnya panjang, garis atapnya menukik tajam, dan buritannya menungging dengan overhang yang tinggi. Untuk ini, mobil sport dekade 70-80an juaranya. Wuah…ga kuat saya lihat lekuk Toyota GT 2000, Toyota Celica generasi pertama, Nissan Fairlady Z 432, atau Fiat X1/9. Kalo di jaman sekarang Mercedes CLS, Mazda RX8, Fiat Coupe, dan Ferrari 458 Italia adalah favorit saya. Mobil-mobil itu indah sekali dipandang dari samping.
Untuk “mobil biasa”, lagi-lagi Peugeot yang saya suka. Favorit saya, Peugeot 405, 206, dan 406. Lekuknya indah. Garis bonnet, bodi samping, garis atap, hingga buritannya terjalin secara harmonis (bahasanya gak kuat). Saya bisa ternganga dan bergeming jika melihat mobil-mobil itu melintas. Mereka ini jenis mobil yang mengalihkan dunia #kumat.



Nissan Fairlady Z432. Ini contoh badan yang...sempurna

Untuk mobil yang banyak beredar di Indonesia, Honda dan Mazda adalah merk yang mobil’-mobilnya aduhai. Saya suka banget bentukan mobil Honda, terutama seri Civic hatchbak. Civic Nouva dan Estillo adalah favorit saya. Keren, sangar, tapi tetap enak dilihat. Dari pihak Mazda, favorit saya adalah Mazda Astina. Mobil hatchback dua pintu yang lampunya model pop-up. Mobil itu mengingatkan saya dengan mobilnya Jiban. Untuk versi modernya, saya cinta berat dengan Mazda 6, apalagi yang warna putih. Jujur, ini mobil tetangga dekat kosan. Jujur lagi, saya selalu menoleh setiap mobil ini diparkir dan pernah mengikuti mobil ini waktu dia keluar. pPercayalah, sepanjang jalan, orang-orang terpaku dan diam saat mobil ini lewat. Duh, kayaknya saya lebih tertarik sama perawakan mobil dibanding perawakan anggota boyband #dibandem.

Oh ya, Alfa Romeo juga merk yang menciptakan mobil yang enak dilihat dan garis badannya indah. Tapi menemukan merk ini di jalan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Susaaaaaaaaaaaaaaaaah banget. Makanya saya heboh waktu melihat ada Alfa Romeo melintas di jalan dekat bandara Soekarno Hatta.

Saya suka mobil. Secara tidak sadar saya belajar membedakan jenis mobil sampai ke detail-detailnya. Sedetail-detailnya, hingga sampai tahapan dapat membedakan versi facelift sebuah tipe tertentu dari lampu belakang atau grill depan. Nggak penting memang, tapi saya suka merepotkan diri sendiri dengan hal-hal yang remeh temeh.

Call me crazy. Call me blind. But I’m in love with my the car.

(STOP PRESS! Walau tidak punya SIM A, tapi saya bisa mengeluarkan mobil dari garasi #sombong)

Sunday, May 1, 2011

Terpesona Drama Asia

#31harimenulis

Akhir-akhir ini saya bersyukur TV saya rusak dan belum muncul niat untuk membeli atau memperbaikinya. Karena seiring dengan rusaknya si tivi, saya dapat menamatkan satu demi satu hutang drama Asia yang menumpuk.

Drama Asia. Saya suka drama Asia. Harap dicamkan, istilah Asia di sini mengarah pada Asia Timur. Berarti yang akan saya bahas di sini bukan serial televisi yang ceritanya upaya Inspektur Vijay untuk melawan Tuan Takur. Bukan...

Drama Asia di sini adalah istilah yang digunakan untuk menyebut serial televisi yang berasal dari negara Asia Timur. Jepang, Korea (Selatan ya, bukan Utara), Cina (baik itu Cina Daratan, Hongkong, atau Taiwan).

Saya suka drama Asia. Kenapa? Karena saya tak suka sinetron. Anda boleh berpikir ini dusta karena saya rajin ngetwit tentang Pak Prabu. Tapi percayalah, saya nonton sinetron hanya untuk melihat Pak Prabu eh Attalarik Syach.

Simpelnya, saya suka drama Asia karena saya tak suka sinetron. Alasan saya tak suka sinetron adalah karena ketidaklogisan cerita, amnesia yang berulang kali, dan adegan tabrakan yang konyol.

Saya dari dulu suka drama Asia. Suka sekali. Terutama dorama.

Agar tidak bingung, dorama adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut drama televisi produksi Jepang. Kenapa dorama? Bukannya saya Japanese-minded atau penganut paham Nihonjinron ya...tapi saya ada beberapa faktor yang membuat saya jatuh cinta dengan drama negeri sakura.

Faktor pertama, panjang serial. Dorama menganut sistem musiman. Musim di sini maksudnya musim gugur-dingin-semi-panas, bukan sistem season seperti serial Amerika. Jadi dorama pasti akan berganti setiap ada pergantian musim.

Sekarang mari kita berhitung sesaat. Tiap musim lamanya 3 bulan. Sebulan ada empat minggu. Dan karena, syukurlah, dorama ditayangkan mingguan, berarti satu dorama tamat hanya dalam 12 episode. Hore sekali bukan!?

12 episode? Is it a bad thing? No. Justru di situlah hebatnya dorama. Dengan dibatasi durasi yang 'hanya' 12 episode, tim produksi 'dipaksa' untuk membuat cerita yang menarik. Ini yang menjadikan dorama begitu asyik. Konflik dan pendalaman karakter dapat tergali dan disajikan dengan baik hanya dalam 12 kali penayangan (bahkan kurang)

Kedua, variasi genre. Secara tema, dorama termasuk yang paling kaya. Tidak melulu kisah cinta seperti Tokyo Love Story *ya ampun #lawas*, ada juga tema medis (misalnya Code Blue, dr.Koto Shinryoujo, Godhand Teru), detektif atau crime (BOSS, Atami no Sousakan, SPEC) , atau drama bertema humanis (Ashita no Kita Yoshio, Inu Wa Kotou wa Iu Kotou).

Tiga, karakter. Hampir semua karakter cewek di dorama yang saya tonton adalah cewek yang keren. Bukan dalam arti perkasa, tapi yang jelas mereka bukan tipikal tokoh yang akan menangis setiap lima menit sekali atau meratap nasib saat ditinggal cowok. No...saya malah selalu benci karakter cewek yang seperti itu. Dan beruntunglah, di Jepang ada aktris yang mampu memerankan peran cewek yang keren seperti itu. Makanya saya kagum dengan Shinohara Ryoko, Kuriyama Chiaki, Karina, atau Toda Erika (dan memburu dorama yang mereka bintangi).

Asyiknya lagi, saya merasa dekat dengan karakter fiksional itu. Lebih dari itu, saya menemukan identifikasi diri dalam beberapa karakter di dorama. Contoh paling dekat adalah tokoh Amemiya Hotaru. Ini adalah karakter yang sangat makjleb dan sangat mendekati kehidupan saya sehari-hari (penasaran? Tonton Hotaru no Hikari season 1-2)

Empat, humor. Lagi-lagi bukan karena Japanese-minded sih. Tapi saya merasa cocok dengan selera humor yang ada di dorama. Mungkin karena tumbuh besar dengan mengonsumsi komik Jepang (manga), maka saya dapat tertawa dan cocok dengan adegan humor yang (kadang) diselipkan di dorama.

Karenanya, kini saya mendapati diri mengalokasikan waktu 1-2 jam untuk menonton dorama setiap hari. Alokasi waktu pun akan bertambah jika sudah menginjak akhir pekan. Jumlah waktu menonton akan bertambah 2-3 kali lipat (mungkin ini alasan skripsi ga selesai-selesai)

Kini saya mendapati diri menanti hasil download dari kampus, rajin melihat forum, mencari subtitle, dan menyambangi situs drama wiki untuk membaca review.

Dan kini saya mendapati diri menularkan 'kegilaan' saya kepada seorang teman. Yang hebatnya, memiliki dedikasi yang lebih tinggi dalam urusan menonton dorama (bo, satu judul dihabisin dua hari!)

Suatu hari saya pernah menulis kalimat ini di Twitter 'menekuni dunia drama Asia itu membutuhkan tekad kuat, semangat baja, dan dedikasi tinggi'. Oke, lebay memang, tapi memang itu yang harus dilakukan agar anda mampu menikmati dorama. Dan itu setimpal, karena Anda akan disuguhi tayangan yang berkualitas.

*ditulis sambil memutar Angela Aki*
Published with Blogger-droid v1.6.8

Terpesona Drama Asia

#31harimenulis

Akhir-akhir ini saya bersyukur TV saya rusak dan belum muncul niat untuk membeli atau memperbaikinya. Karena seiring dengan rusaknya si tivi, saya dapat menamatkan satu demi satu hutang drama Asia yang menumpuk.

Drama Asia. Saya suka drama Asia. Harap dicamkan, istilah Asia di sini mengarah pada Asia Timur. Berarti yang akan saya bahas di sini bukan serial televisi yang ceritanya upaya Inspektur Vijay untuk melawan Tuan Takur. Bukan...

Drama Asia di sini adalah istilah yang digunakan untuk menyebut serial televisi yang berasal dari negara Asia Timur. Jepang, Korea (Selatan ya, bukan Utara), Cina (baik itu Cina Daratan, Hongkong, atau Taiwan).

Saya suka drama Asia. Kenapa? Karena saya tak suka sinetron. Anda boleh berpikir ini dusta karena saya rajin ngetwit tentang Pak Prabu. Tapi percayalah, saya nonton sinetron hanya untuk melihat Pak Prabu eh Attalarik Syach.

Simpelnya, saya suka drama Asia karena saya tak suka sinetron. Alasan saya tak suka sinetron adalah karena ketidaklogisan cerita, amnesia yang berulang kali, dan adegan tabrakan yang konyol.

Saya dari dulu suka drama Asia. Suka sekali. Terutama dorama.

Agar tidak bingung, dorama adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut drama televisi produksi Jepang. Kenapa dorama? Bukannya saya Japanese-minded atau penganut paham Nihonjinron ya...tapi saya ada beberapa faktor yang membuat saya jatuh cinta dengan drama negeri sakura.

Faktor pertama, panjang serial. Dorama menganut sistem musiman. Musim di sini maksudnya musim gugur-dingin-semi-panas, bukan sistem season seperti serial Amerika. Jadi dorama pasti akan berganti setiap ada pergantian musim.

Sekarang mari kita berhitung sesaat. Tiap musim lamanya 3 bulan. Sebulan ada empat minggu. Dan karena, syukurlah, dorama ditayangkan mingguan, berarti satu dorama tamat hanya dalam 12 episode. Hore sekali bukan!?

12 episode? Is it a bad thing? No. Justru di situlah hebatnya dorama. Dengan dibatasi durasi yang 'hanya' 12 episode, tim produksi 'dipaksa' untuk membuat cerita yang menarik. Ini yang menjadikan dorama begitu asyik. Konflik dan pendalaman karakter dapat tergali dan disajikan dengan baik hanya dalam 12 kali penayangan (bahkan kurang)

Kedua, variasi genre. Secara tema, dorama termasuk yang paling kaya. Tidak melulu kisah cinta seperti Tokyo Love Story *ya ampun #lawas*, ada juga tema medis (misalnya Code Blue, dr.Koto Shinryoujo, Godhand Teru), detektif atau crime (BOSS, Atami no Sousakan, SPEC) , atau drama bertema humanis (Ashita no Kita Yoshio, Inu Wa Kotou wa Iu Kotou).

Tiga, karakter. Hampir semua karakter cewek di dorama yang saya tonton adalah cewek yang keren. Bukan dalam arti perkasa, tapi yang jelas mereka bukan tipikal tokoh yang akan menangis setiap lima menit sekali atau meratap nasib saat ditinggal cowok. No...saya malah selalu benci karakter cewek yang seperti itu. Dan beruntunglah, di Jepang ada aktris yang mampu memerankan peran cewek yang keren seperti itu. Makanya saya kagum dengan Shinohara Ryoko, Kuriyama Chiaki, Karina, atau Toda Erika (dan memburu dorama yang mereka bintangi).

Asyiknya lagi, saya merasa dekat dengan karakter fiksional itu. Lebih dari itu, saya menemukan identifikasi diri dalam beberapa karakter di dorama. Contoh paling dekat adalah tokoh Amemiya Hotaru. Ini adalah karakter yang sangat makjleb dan sangat mendekati kehidupan saya sehari-hari (penasaran? Tonton Hotaru no Hikari season 1-2)

Empat, humor. Lagi-lagi bukan karena Japanese-minded sih. Tapi saya merasa cocok dengan selera humor yang ada di dorama. Mungkin karena tumbuh besar dengan mengonsumsi komik Jepang (manga), maka saya dapat tertawa dan cocok dengan adegan humor yang (kadang) diselipkan di dorama.

Karenanya, kini saya mendapati diri mengalokasikan waktu 1-2 jam untuk menonton dorama setiap hari. Alokasi waktu pun akan bertambah jika sudah menginjak akhir pekan. Jumlah waktu menonton akan bertambah 2-3 kali lipat (mungkin ini alasan skripsi ga selesai-selesai)

Kini saya mendapati diri menanti hasil download dari kampus, rajin melihat forum, mencari subtitle, dan menyambangi situs drama wiki untuk membaca review.

Dan kini saya mendapati diri menularkan 'kegilaan' saya kepada seorang teman. Yang hebatnya, memiliki dedikasi yang lebih tinggi dalam urusan menonton dorama (bo, satu judul dihabisin dua hari!)

Suatu hari saya pernah menulis kalimat ini di Twitter 'menekuni dunia drama Asia itu membutuhkan tekad kuat, semangat baja, dan dedikasi tinggi'. Oke, lebay memang, tapi memang itu yang harus dilakukan agar anda mampu menikmati dorama. Dan itu setimpal, karena Anda akan disuguhi tayangan yang berkualitas.

*ditulis sambil memutar Angela Aki*
Published with Blogger-droid v1.6.8