Showing posts with label Milo. Show all posts
Showing posts with label Milo. Show all posts

Friday, May 27, 2011

Cappo di Tutti Milo



Milo Fuze dan kemasan stickpacknya

Saya maniak Milo. Mungkin Anda sudah tahu hal itu. Layaknya Jinchoge Haname, saya takkan bisa menjalani hari tanpa diawali mengonsumsi Milo (dan Nescafé, tentunya). Mungkin Anda juga sudah tahu akan hal itu. Saya minum Milo sejak umur 3 tahun dan menjadikannya alasan utama mengapa saya tidak setinggi Sooyoung. Ini juga sudah anda ketahui. Saya mengonsumsi segala jenis bentukan Milo di pasaran. Anda juga sudah tahu ini.

Jadi bayangkan betapa bahagianya saya saat mendapat pasokan Milo Fuze dari dik Ijah yang lucu. Dan jika anda bertanya apa itu Milo Fuze, lemme tell ya (pake nadanya T.O.P). Milo Fuze adalah sebuah varian Milo yang dijual di negeri Siti Nurhaliza, Malaysia. Tapi itu tidak penting. Yang patut digarisbawahi adalah, Milo Fuze adalah varian Milo paling ciamik yang pernah saya rasakan selama (hampir) 22 tahun hidup di dunia ini. Duh, jadi ketahuan umurnya kan, bodo deh.

Saya berkenalan dengannya lima tahun yang lalu. Alkisah teman saya, namanya Sinta, yang dari Riau pernah membawanya ke asrama. Iseng, saya minta. Dikasih. Diseduh Diminum. ADUHAI! Andai ini cerita di komik, mata saya akan bersinar-sinar. Saya akan terbang ke langit sambil tersenyum lebar. B-A-H-A-G-I-A.

Oh….rasa coklat yang berpadu dengan Milo.

Oh…kadar kekentalan yang sempurna.

Oh….semburat lembut vanili yang menentramkan hati.

Oh…oh…oh…oh…oppareul saranghae (kenapa jadi nyanyi????)


Terus saya jalan-jalan ke mall. Belanja. Menemukan Fuze. Saya beli dua bungkus. Habis dalam dua minggu. Tapi semenjak kuliah, saya berhenti mengonsumsinya. Tak hanya itu, Fuze pun seakan menghilang di pasaran.

Alkisah tiga minggu lalu, Ijah sempat tweeting jika dia mau pulang kampung. Ke Pekanbaru, katanya. Iseng, saya nitip Fuze. Eh….tak tahunya doi mau dititipin. Ah…senangnya. Bahagianya. Bahagia banget kah? Iya. Sangat Bahagia. Saking bahagianya, saking euforianya, begitu Ijah datang dan mengeluarkan Fuze, saya lonjak-lonjak dan menciumi bungkusnya. Norak memang.

Saya menyeduhnya saat malam menjelang. Ah, dia masih sama. Masih dengan kemasan stickpack (seperti bungkus Nescafé 3 in 1). Masih dengan rasanya yang lezat dan kental. Masih dengan kalorinya yang 10% lebih tinggi dari Milo biasa (Milo biasa 110 kcal, Fuze 121 kcal). Masih dengan bungkus yang sama.

Ah, dia mengingatkan saya semasa di asrama. Milo Fuze mengingatkan saya akan hari-hari di masa kelas tiga. Saat bangun setengah lima dan tidur setengah dua. Fuze selalu ada di samping meja saya saat mengerjakan PR Matematika. Fuze mengingatkan saya saat begadang mengerjakan akutansi di buku besar buku besar buku besar....TIDAAAK!

Milo Fuze juga selalu mengingatkan saya dengan guru Ekonomi (sekaligus wali kelas) jaman SMA MAN. Bu Ifat, namanya. Itu waktu kami masuk bab Manajemen. Dari penjelasn beliau saya menjadi paham tentang maksud efisiensi produksi. Beliau mengomparasi Milo Fuze dengan produk Milo 3 in 1 lokal. Betapa ironisnya ketika harga barang produksi luar negeri lebih murah dibanding produk dalam negeri. Okelah, bedanya hanya seribu (Milo Fuze 39 ribu, Milo 3 in 1 40 ribu). Tapi bayangkan Fuze sudah terkena PPN (pajak pertambahan nilai) 10%, bea masuk, dan belum lagi ongkos kirim yang tercangkup di dalamnya. Dan kesemuanya itu masih membuat harganya lebih murah dari produk lokal.

Bayangkan betapa tidak efisiennya produk kita, begitu kata beliau. Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut dengan membandingkan harga beras Thailand dan Indonesia. Sederhana tapi mengena. Jadi saya tidak kaget jika harga Pertamax lebih mahal dari Shell Super. Call me unpatriotic, tapi konsumen kere seperti saya harus menerapkan prinsip ekonomi untuk bertahan hidup.

Sekali lagi saya bilang: Saya SUKA SEKALI MILO FUZE.

Dan dengan tulisan ini saya nobatkan Milo Fuze sebagai Cappo di Tutti Milo. Best of the Best Milo.

(p.s: Dek Ijah, kalo pulang lagi, boleh dong saya nitip Fuze Mocha)
Published with Blogger-droid v1.6.8

Friday, May 20, 2011

1055



1055. Itu angka yang tertampang di depan mata saya. Bukan, ini bukan angka yang menunjukkan harga Indomie Ayam Spesial di Indomaret terdekat. Bakal hore banget saya jika ini terjadi. Ini angka yang menunjukkan jumlah hits di blog ini. Saya ternganga dan sedikit tidak percaya. Berkali-kali saya gosok kacamata yang sudah seminggu tidak dibersihkan ini. Terakhir, saya semprotkan cairan pembersih lensa ke arahnya, cratt…cratt, dan saya usap dengan lap khusus. Saya tepuk-tepuk pipi. Saya cubit-cubit pipi. Angkanya tak berubah. Ini ternyata bukan mimpi. Jumlah hits blog ini sudah melampaui 1000.

Bagaimana perasaan saya? Senang. Iya, saya senang. Tidak bangga. Apalagi tremor, karena oknum pembuat tremor tidak terlihat di depan mata. Kalaupun ada, saya jelas akan mengalami sesak nafas dan tidak bisa berpikir jernih.

Jadi saya cuma bisa bilang “senang”. Itu artinya ada orang yang membaca tulisan di blog ini. Itu artinya ada orang yang rela menyisihkan waktunya untuk membaca tulisan –tulisan saya. Senang rasanya saat melihat orang lain menyenangi isinya. Senang rasanya saat seorang teman memberitahu jika dia rajin mengikuti blog ini. Wah, I didn’t expect that much. Saya tidak berpikir sampai ke sana. Mengingat tidak ada yang istimewa di sini.

Tapi, jujur saja, ini pencapaian yang besar. Jumlah hits di blog ini mampu mencapai 1000 dalam waktu kurang dari sebulan. Jika saya melongok grafik statistik dari bulan ke bulan, terlihat sekali grafiknya bergerak cepat dan tajam. Secepat pergerakan saham IHSG ataupun pergerakan harga minyak Brent di Bursa London. Untuk itu saya patut berterimakasih.

Pertama, saya ucapkan terima kasih pada ARDI WILDA IRAWAN aka AWE, sang penggagas gerakan 31 Hari Menulis. Sedikit banyak, gerakan ini melecut semangat saya dan banyaaaaak teman-teman lain untuk menulis setiap hari. Sungguh, walaupun Awe terkadang marmos ([kata sifat] marai emosi = membuat emosi. Keadaan yang membuat kita ingin melempar jumroh kepada yang bersangkutan) dan absurd, tapi dia ini adalah anak muda yang punya segudang gagasan brilian.

Terima kasih Ocha si Muntah Gorgom dan Ijah Jezie Laurensia yang dengan sukarela menjadi admin 31 Hari Menulis dan dengan rajin melongok blog semua peserta (termasuk blog saya, miauw), merekap, dan memposting hasil rekapan yang kalian lakukan. Terima kasih mbak Pulung Uci, yang sui menjadi juri kompetisi ini dan sering memposting tulisan yang menyentuh hati.

Terima kasih Nescafé, Coffee – Mate, Milo, Milo Fuze, permen Fox. Terima kasih Kim Tae Yeon, Celine Dion, Chiaki Kuriyama, Angela Aki, Tokyo Jihen, Syaharani and The Queen Fireworks, Teresa Teng, Nouvelle Vague, Bond, Maksim, Johann Bach, Edvard Grieg, Lara Fabian, dan Cat Steven/Yusuf Islam yang sering menjadi teman sekaligus sumber insprasi.

Terima kasih Salonpas, Neurobion, dan balsem otot Geliga. Kalian adalah penyelamat di saat otot mulai tak enak.

Terima kasih si Mimi aka Sony Ericsson Xperia X10 Mini Pro, Blogger-Droid, dan Office Suite Pro. Dengan adanya kalian, saya mampu blogging di manapun dan kapapun. Walaupun untuk itu saya harus jumpalitan untuk mencari sinyal si provider merah #eh #curhatsaya.

Terima kasih untuk Shiro, si MacBook White yang setia menemani saya dan rela disiksa saking kerasnya saya mengetik di keyboardnya. Terimakasih untuk si meja baru.Tempat saya bisa menulis dengan nyaman dan meletakkan semua barang dalam jangkauan. Bahkan kaki saya bisa selonjoran di sana. Mantap!

Tak lupa saya mengucapkan terimakasih untuk kalian, wahai pembaca. Terima kasih yang sebesar-besarnya sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya. Terimakasih atas apresiasi yang anda berikan. Sungguh, saya tak pernah terpikir akan ada orang yang membaca tulisan tentang gadis yang bisa sakau karena 3 hari tidak minum Milo atau merasa sakit hati karena tidak bisa tumbuh lebih tinggi.

1055. Ini saatnya memikirkan kelanjutan rencana blog ini. Akan seperti apa blog ini di kemudian hari? Akankah terus berlanjut ataukah hidup segan mati tak mau layaknya zombie *berubah jadi Dolores O’Ridorian*? Bagaimana postingan yang selanjutnya? Akankah tetap mempertahankan gaya yang serabutan, ngawur, dan sekenanya atau berkembang kea rah yang lebih serius? Dan masih banyak pertanyaan lain yang jawabannya masih berupa “entahlah”.

Oh ya, tolong dimaklumi jika anda mendapati banyak kata “Sooyoung” tersebar di sini. Soalnya saya tidak suka Yoona dan Jessica (ampun kakak! Jangan lempari saya…). Eh bukan itu maksudnya! Tolong dimaklumi banyaknya sebaran kata “Sooyoung” di sini, soalnya dia itu tinggi tinggi sekaliii, dan saya terobesi menjadi tinggi. Gomen ne, minna-san!

Akhir kata, saya ucapkan sekali lagi, selamat mengikuti Dunia Maya. Selamat menikmati dunia dari kacamata saya. Sebuah dunia di mana kehidupan terkadang tidak berjalan seperti biasanya.

(teman-teman dalam kegiatan 31 Hari Menulis. Sedang bermain dengan aplikasi Little Photo)
Published with Blogger-droid v1.6.8

Saturday, May 14, 2011

Ingin Tinggi (Balada Gadis Semampai)

Ni hwasareun trouble trouble trouble nareul no ryeosseo [As expected you’re trouble trouble trouble. It aimed at me…]” Hoot – SNSD

Itu lagu yang diputar di iPod saat saya mulai menulis. Uhh…kenapa mesti Hoot sih? Ini kan lagu yang wah-mak-jleb-banget.

Kenapa wah-mak-jleb-banget? Jadi ini lagunya SNSD. Siapa itu SNSD? Kecuali Anda tinggal di Kutub Utara, maka seharusnya Anda tahu siapa mereka. So Nyuh Shi Dae alias SNSD alias Girls’ Generation. Mereka adalah sembilan cewek Korea yang tinggi-tinggi dan kakinya puanjaaaaang puanjaaaaang. Kalo kata teman (cowok) saya sih, boneka berjalan. Halah!

Nah satu scene di video klip lagu ini yang bikin wah mak jleb banget. Jadi ada scene di mana kamera berada di posisi low angle (posisi kamera ada di bawah, lebih rendah dari level mata normal) untuk menyorot salah satu anggotanya berjalan ke depan. Kostumnya? Setelan high waist ala Star Trek (you know lah, baju berwarna keemasan yang modelnya futuristis) yang membuat kaki pemakainya terkesan lebih panjang (dan otomatis membuat mereka terlihat lebih tinggi). Scene ini yang membuat saya nyakar tembok saking keselnya. Euh….ini cewek udah tinggi banget kenapa harus dibuat terlihat lebih tinggi sih??? Trouble! Trouble! Trouble! #misuh

Choi Sooyoung. Itu namanya. Cewek ini sering saya asosiasikan dengan istilah “cewek-kaki-panjang”, “eneng-kaki-panjang”, atau “Dek Young”. Dua istilah pertama merujuk pada fakta doi adalah cewek berkaki terrrr-puanjaaaaaaang yang pernah saya lihat. Tidak cuma berkaki panjang, cewek kelahiran 10 Februari 1990 ini (hafal!) juga beruntung dianugerahi tubuh yang tinggi.

Sooyoung itu sinonim dari tinggi. Karena memang badannya tinggi. Tinggi sekali. Tinggi…tinggi sekaliiiiiiiiiiiii (kata ini harus diucapkan dengan nada “Naik-naik ke Puncak Gunung”). Dalam biodatanya, dikatakan jika tinggi badannya mencapai 170 cm. Itu pun masih ditambah keterangan “and still growing”. Singkat, padat, dan menyakitkan. Meeeen, masih bisa nambah tinggi lagi!? Itu kaki, yang sudah kaya tiang, masih bisa nambah panjang lagi? KOPROL!



(Choi Soo Young. Gadis tinggi yang berkaki panjang)


Filsafat China mengenal istilah Yin dan Yang. Begitulah gambaran hubungan saya dan Sooyoung (dikejar Sooyoungster. I better run…run…run). Jika Sooyoung itu tinggiiiii tinggiiiiii sekaliiiii, maka saya itu pendek pendek sekali. Ya, saya pendek. Pendek sekali. Sangat amat pendek.

Dengan tinggi badan yang mentok di angka 149 cm bolehlah dibilang saya ini gadis nan semampai. Semampai… semeter lima puluh tidak sampai. Survey membuktikan (halah, saya jadi terdengar seperti Sony Tulung) jika saya masih muat di alat pengukur tinggi badan yang ada di Posyandu. Pendek banget, kan? Makanya saya benci dengan alat pengukur tinggi.

Sudah pendek, berat badan saya mentok pula di angka 40 kg. Tidak kurang dan tidak lebih. Jarum angka di semua timbangan yang sudah pernah saya coba tak pernah bergeser dari angka tersebut. Tidak peduli saya cuma makan mie 3 hari 3 malam (pernah lho, betapa tidak sehatnya hidup ini) atau makan segila-gilanya orang makan (ini juga pernah, waktu seminggu di Padang). Muka pun lebih condong ke arah anak SMP kelas 3 dibanding mahasiswa (dirajam). Teori-teorian ngawur untuk ini adalah saya berhenti tumbuh di bulan Agustus 2004. Saat berat badan naik 3 kg dan tinggi badan naik 3 cm dalam tiga minggu.

Dengan figur dan muka yang seperti ini, saya sering dianggap 5-10 tahun lebih muda #berlebihan. Asyik? Asyik bang-get jika anda bisa dapet DISKON buat naik Kora-Kora di Dufan (sayangnya ga pernah. Cih!). Tapi jadi tidak asyik, bahkan menyebalkan, jika selalu dapat pertanyaan “dek, selesai UAN mau daftar SMA mana?” Hell-o, saya sudah mahasiswa semester banyak dan masih saja ada yang tanya mau masuk SMA mana? LONCAT DARI MONAS!

Chairil Anwar, dalam “Aku”, pernah bermimpi “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Sayangnya, saya tidak sekeren beliau, jadi saya cuma bisa bermimpi “Aku ingin tumbuh 20 sentimeter lagi”. Ya…ga segitu juga ga papa sih. Sepuluh, sebelas, atau lima belas sentimeter lagi juga tak apa. Asal bisa melewati angka 150 cm. Asal tidak lagi jadi gadis semampai. Ya…nasib!

Bukannya pasrah pada nasib. Saya berusaha buat jadi tinggi kok. Soalnya saya memang ingin tinggi dari dulu. Makanya saya dulu minum Milo sampai tiga gelas sehari. Walaupun itu cara yang salah (baca di sini). Makanya dulu saya rajin olahraga. Apa saja, asal orang bilang itu bisa ninggiin badan. Renang, basket, sampai gelantungan di tiang mainan TK saya lakukan. Tapi tetap saja tidak berpengaruh. Waktu main basket, saya selalu dipasang sebagai Point Guard. Praktis, saya lebih sering memberikan assist dibanding melakukan shoot. Sekalinya shoot, ya itu jump shoot, bukan lay up, apalagi dunk (tiang basket itu tinggi, kakak…). KAPAN TINGGINYA?

Sampai sekarang pun saya masih ingin bertambah tinggi. Tak peduli dengan orang-orang yang mengatakan jika wanita berhenti tumbuh di usia 21 tahun. Toh, Amami Yuki bilang jika dia masih tumbuh sampai usia 25 tahun. Uraaaaaa! Tante BOSS ini memag angker! Tirai belum tertutup untuk saya, kawan….

Saya ingin tinggi. Benar-benar ingin tinggi. Sampai eneg dan blenger rasanya beli Anlene One A Day, susu yang konon kalsiumnya lebih tinggi dari susu yang lainnya. Sampai eneg juga rasanya beli Cimory, karena katanya yoghurt memiliki kalsium yang lebih tinggi dibanding susu. Kayaknya semua metode untuk menambah tinggi badan sudah saya coba namun hasilnya nihil. Semua, kecuali memakai high heels, stiletto, atau sepatu ulekan ber-hak pembunuh (killer heels). Tapi yang ini sih memang tidak berniat untuk mencobanya. Ih ogah ogah ogaaaah! Mending beli Nike Zoom atau Reebok PUMP.

Dua hari yang lalu, ada rumor jika SNSD akan konser ke Jakarta tanggal 22 Oktober. Saya mulai terpikir untuk beli stretcher badan atau insole 20 cm. Biar apa? Biar tambah tinggi lah, biar ga malu waktu foto sama Dek Young. Jika itupun gagal, apa boleh buat, saya mungkin akan menyelinap ke belakang panggung untuk mengekstrak DNA Sooyoung….

SALAM KOPROL!

Menikmati Hujan

"Everybody's thinking about the rain. Everybody's thinking about the rain. Wonder if the sun will come again" ( The Rain - Yusuf)

Hari ini saya kehujanan. Dua kali. Yang pertama saat dalam perjalanan menuju Lapau Uni. Cuaca masih cerah saat saya berangkat dari kos. Tiba-tiba saja, di pertigaan dekat Hari's, byur! Hujan deras melanda. Kelabakan, saya cari tempat berteduh untuk memakai jas hujan. Ehh...tidak tahunya, sekitar 100 meter kemudian, hujannya mengecil. Sesampainya di Lapau Uni, hujannya malah mereda. Mungkin ini yang namanya anomali cuaca. Mungkin global warming memang benar adanya (habis ini saya jadi buronan aktivis Greenpeace sedunia hehe)

Yang kedua terjadi sepulangnya saya karaokean. Langit memang sudah gelap saat kami keluar. Menyusuri ring road, hujan mulai turun. Selepas perempatan Kentungan....BRESS! Hujan besar mengguyur tubuh kecil nan lemah ini *ditendang Sooyoung*. Segera saya melipir ke pelataran Circle K Jakal. Cepat-cepat saya ambil dan pakai jas hujan. Paduan cepat dan buru-buru membuat ritsleting jas hujan saya patah. MAMPUS! Apa daya, saya masukkan jas hujan ke celana dan menembus hujan yang sudah mirip dengan badai itu. Sepanjang perjalanan, saya merasakan air hujan menembus tubuh. Dingin. Tidak cukup dengan itu, air juga terasa masuk ke sepatu saya. Sepatu aku...sepatu Reebok Classic aku basaaaah. Tidaaak! #nangis

Sedia payung sebelum hujan. Itu kata orang bijak. Tapi siapapun yang membuat kalimat itu, saya pikir dia bukan orang Indonesia atau orang yang tinggal di kawasan tropis. Dengan curah hujan yang tinggi, kadang mencapai 300 mm setiap tahun, sudah jelas payung tidak akan mampu menahan curah hujan dan intensitasnya yang begitu tinggi. Makanya bagi kita, sebagai orang yang tinggal di negara bercurah hujan tinggi, sudah lumrah rasanya untuk menyimpan jas hujan di kendaraan kita. Uhh...ini jelas untuk orang yang kendaraannya motor atau sepeda ya, bukan mobil. Yang punya mobil, jangan sekali-kali memakai jas hujan di mobil kecuali Anda ingin dianggap saudara Lady Gaga (habis ini saya jadi buronan fans Lady Gaga sedunia hahaha)

Terlepas dari penderitaan (baca: kesialan) tadi, saya suka hujan. Dulu waktu kecil saya senang keluar rumah untuk bermain hujan-hujanan. Lalu besoknya saya sakit dan tidak masuk sekolah. Hahaha!

Tapi saya suka hujan. Bagi saya hujan itu melankolis romantis. Coba deh lihat adegan film yang melibatkan hujan di dalamnya. Pasti sebagian besar adegan terasa melankolis atau romantis atau malah kedua-duanya. Melankolis bukan melihat adegan Amira yang mencari Pak Prabu di bawah guyuran hujan lebat? Adegan seseorang yang menunggu kekasihnya di tengah hujan lebat juga tidak pernah gagal membuat saya tersentuh. Oke, mungkin contohnya tidak bermutu. Tapi saya harap anda faham maksudnya. Adegan yang melankolis romantis itu selalu melibatkan hujan di dalamnya.

Saya suka hujan. Karena dengan turunnya hujan, saya punya alasan tepat untuk menajamkan kemampuan the art of doing nothing. Iya, maksudnya leyeh-leyeh di kamar, malas-malasan, guling-guling di kasur. Oke, saya memang pemalas. Tapi hujan membuat level kemalasan saya mencapai tingkat tertinggi.

Momoko Sakura, pengarang komik Chibi Maruko-Chan, pernah mengatakan jika dia merasa bagai seorang puteri saat hujan turun. Kenapa? Karena dia bisa bersantai-santai dan meringkuk di selimut seharian. Toss tante! Ternyata kita sama.

Saya sangat menikmati hujan. Ada kebahagiaan tersendiri saat memandangi tetesan air dari balik jendela. Memandangi riak yang timbul di kolam renang depan kamar. Entahlah, saya merasa itu hal yang menghibur hati. Lagian wagu juga jika saya masih main hujan-hujanan dan kemudian sakit.

Cara lain untuk menikmati hujan adalah membuat minuman dan makanan hangat. Mie rebus terasa sangat lezat jika dimakan saat udara dingin, apalagi saat hujan. Kenikmatan lain datang dari dua benda ini: Milo dan Nescafe. Eits, ga usah protes! Dua minuman ini kadar kenikmatannya meningkat berlipat-lipat saat diminum saat hujan. Apalagi jika yang anda konsumsi Nescafe Gold dan Milo Fuze. Ibarat kata The Corrs, I'm in borrowed heaven. OK, I'm exaggerating here.

Saya suka hujan. Suka dengan bau tanah yang disiram air hujan. Segar, sejuk, namun menciptakan kehangatan tersendiri. Mungkin harusnya ada parfum yang diciptakan dari aroma tanah yang disiram air hujan.

Hujan. Saya suka hujan. Karena ia memberikan banyak hal yang bisa dinikmati. Walaupun sekedar meringkuk di selimut sambil mendengarkan alunan Taeyeon yang diputar iPod. Seperti yang saya lakukan saat menulis ini.

Duh, anget....
Published with Blogger-droid v1.6.8

Wednesday, May 4, 2011

Sakaw Milo

I can’t tell the world what to do, but I can start my day with Milo Sludge – Jinchoge Haname (Instant Numa, 2008)

“Cilaka! Milo habis!” Itu jeritan hati saya Minggu malam lalu. Dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan karena kehujanan dan kecipratan air sepanjang perjalanan, kehabisan Milo bagaikan sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, sepotong kenikmatan hidup menguap begitu saja.

Saya tatap Tupperware yang biasanya berisi serbuk Milo. Hampa. Kosong. Nihil. Tanpa tersisa sebutir pun. Saya mengutuki diri sendiri yang sebelumnya lupa beli Milo saat perjalanan pulang. HIKS

Saya suka Milo. Kenapa Milo? Karena saya tak suka Dancow. Kenapa Milo? Karena saya tak suka Ovaltine. Kenapa Milo? Bawel ya! Saya sudah minum Milo sejak umur 4 tahun jadi jangan tanya alasan saya suka Milo.
Milo.

Dari dulu saya minum minuman tonik produksi Nestlé ini. Dua kali sehari, biasanya. Saat pagi dan sore atau malam hari. Diminumnya pun dengan cara yang sangat konservatif, jika tidak mau dibilang kuno. Sejumlah Milo diseduh dengan air hangat 150 mL kemudian diminum. Sesederhana itu. Jika tokoh Haname di film Instant Numa bisa berkreasi dengan membuat Milo Sludge, jika FoodFezt mempunyai menu yang bernama Milosaurus, maka cara saya menikmati Milo hanya dengan menyeduhnya dengan air panas.

Ada kriteria tertentu untuk menentukan enaknya sebuah racikan Milo. Jika Milo yang diracik sudah berwarna coklat agak-tua-pekat maka itu akan menjadi minuman Milo yang sangat lezat. Saya menyebutnya Milo-yang-Sempurna (The perfect Milo)

Takaran pastinya tidak diketahui karena saya memakai wadah Tupperware yang biasanya dipakai orang untuk menyimpan kecap. Jadi takarannya hanya bersifat intuisi.

Milo. Dari dulu saya meminumnya. Dari dulu pula saya menganggap Milo adalah susu. Apa boleh buat, sewaktu kecil dulu saat saya disuruh minum susu, orangtua atau si Mbak selalu menyodorkan segelas Milo pekat. Hanya Milo, tanpa diberi susu atau gula. Karena sudah lama dan sudah suka, dosis Milo yang saya konsumsi semakin meningkat setiap waktu. Bila normal, 300 gram Milo habis dalam seminggu. Dalam bayangan saya, semakin banyak minum Milo berarti akan membuat saya semakin tinggi atau setidaknya menambah berat badan.

Baru-baru ini saja saya tahu jika Milo itu bukan susu, melainkan minuman barley.

Pantas saya kurang kalsium.

Pantaslah saya tidak bisa setinggi Sooyoung.

Saya suka Milo. Karena Milo banyak macamnya. Tidak cuma susu eh serbuk minuman barley, Milo hadir dalam bentuk sereal, nugget (bola-bola cokelat), choco bar, UHT, Milo kaleng, atau (ini favorit saya) es krim.
Es krim Milo ini dikemas dalam kemasan cup. Rasanya coklat Milo dengan taburan butiran Milo di sekelilingnya. Rasanya, wuih….kalah deh Magnum.

Dulu, di koperasi IC ada ice box Nestlé. Di situlah saya mencicipi es krim Milo untuk kali pertama. Saya ingat, itu terjadi saat hari pertama tes seleksi masuk. Mengingat es krim Milo begitu lezat dan langka, saya yang saat itu tak punya motivasi apa-apa menjadi termotivasi untuk masuk IC. Alasannya? Biar bisa beli es krim Milo lah… #terdengarsalah

Namun di tahun kedua, ice box Nestlé di koperasi menghilang dan diganti ice box W*lls. Meh!

Milo. Dari dulu saya meminumnya. Dengan cara sederhana. Bagi saya, minum Milo hangat di malam yang dingin itu adalah kenikmatan yang luar biasa. Bagi saya, Milo adalah sumber semangat saya.

Jika tokoh Haname di film Instant Numa menganggap “satu hari tanpa Milo itu adalah satu hari tanpa Milo sludge”, maka saya menganggap “satu hari tanpa Milo adalah satu hari tanpa semangat.”

Dan ini sudah hari ketiga tanpa Milo. Jadi sudah 3 hari saya berlalu tanpa semangat. Ibarat pecandu, saya sudah dalam tahap sakaw.

Saya butuh Milo. Saya rindu Milo. Saya HARUS minum Milo.
Published with Blogger-droid v1.6.8