Showing posts with label sentimentil. Show all posts
Showing posts with label sentimentil. Show all posts

Thursday, May 31, 2012

Ruang Transit Bernama Rumah Sakit

Kemarin saya mengunjungi Rumah Sakit Sardjito untuk yang ketiga kalinya dalam kurun waktu seminggu. Hal ini dilakukan karena ada kenalan yang sedang opname di sana. Karena saya diamanahi oleh orang tua saya untuk sering-sering menjenguknya, ya….saya harus menjenguknya.

Sebenernya ada niat untuk bertemu (mantan) gebetan tapi tidak kesampaian. Mungkin kami memang tidak berjodoh. Selamat jalan kekasih, kaulah cinta dalam hidupku, aku kehilanganmu untuk selama-lamanya.

Oke, saya malah nyanyi. Balik lagi ke topik semula.

Monday, May 7, 2012

Dear Diary

Frankly, today I ABSOLUTELY HAVE NO IDEA. Seharian mengerjakan skripsi, kelaparan, nungguin hujan, nguping pembicaraan mahasiswa Teknik Fisika tentang kecepatan rambat suara di udara, dan nonton performance AKB48 cukup membuat saya pusing tujuh keliling.

Oh well, cerita apa ya? Emmm....diary? How about I tell you something about diary? Deal or no deal? Deal lah ya....

Siapa di sini yang masih menulis di diary? Saya.

Tuesday, December 27, 2011

Honorable Mention of The Year: Ardi Wilda





*posting ini adalah posting Hybrid, akan menggabungkan boso Jowo dan bahasa Indonesia*


Sebelum lanjut nulis, aku mesti ngomong ini, We.


"Ora, aku mesti nulis iki nggo kowe. Aku ga peduli kamu mau ngomong iki akal-akalan ku opo piye tapi aku mesti nulis iki."

Monday, August 22, 2011

22

Growing up is not an absence of dreaming
It’s being able to understand the difference between
The ones you can hold and the ones that you've been sold (Goodbye Alice in Wonderland – Jewel)

Beberapa jam yang lalu, saya resmi mengakhiri angka 21 dan beranjak ke angka 22. Yup hari ini, pada saat fajar menyingsing 22 tahun yang lalu saya membuka mata dan melihat dunia untuk pertama kalinya. Namun walau lahir di saat fajar nama saya bukan fajarwati. Well setidaknya hal itu tidak sempat terjadi.
Hari ini, seperti biasa, saya hampir lupa jika saya berulang tahun. Jika tidak ada SMS dari Lina mungkin saya akan menjalani hari ini seperti hari-hari sebelumnya. Leyeh-leyeh dan sesekali mengerjakan skripsi. Ohemjih…manusia macam apa ini!?

Tahun ini perayaan ulang tahun saya terasa sedikit spesial. Bukan, bukan karena tiba-tiba saat saya bangun badan sudah setinggi Choi Sooyoung. Tapi karena saya menginjak usia 22 tepat di tanggal 22. Sungguh menarik, kan? Eh tidak menarik? Oh ayolah buat saya sedikit senang di hari ini #maksa. Pokoknya memiliki usia yang sama dengan tanggal ulangtahun itu terasa istimewa mamen!

Jadi seperti apa usia 21? Hmmmm so-so lah ya. Walaupun usia saya kemarin itu seperti penguasa jaringan bioskop tapi ironisnya tahun kemarin saya malah jarang banget nonton bioskop. Aduh berapa kali ya saya ke bioskop? Sepertinya tidak lebih dari 4-5 kali. Itupun karena bareng-bareng teman. Satu-satunya film yang membuat saya merasa HARUS menontonnya adalah film Wu Xia karena ada Takeshi Kaneshiro.

Ehm sepertinya ini sudah OOT deh.

21 bagi saya adalah walk in the park. Ibarat makanan, dia adalah gado-gado yang dicampur lotek. Ibarat biskuit, dia adalah biskuit Kong Ghuan atau Lagenda. Bingung? Ya, saya juga. Intinya 21 adalah usia di mana banyak kejadian, baik itu pahit maupun manis, menimpa saya. Klise banget yah?

Di usia ini saya melakukan kesalahan yang fatal. Lebih dari satu kesalahan fatal. Tak perlu lah saya jelaskan apa masalahnya tapi dapat dibilang itu cukup mengganggu hubungan saya dan keluarga. Tidak tahu ya? Maaf, saya lebih suka menyimpan masalah sendiri…. 

Di usia ini saya merasakan yang namanya dikejar wedhus gembel. Mungkin tanpa pertolongan Yang Maha Kuasa saya sudah tewas dan berada di alam sana. Syukurnya saya masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia.

Di usia ini jujur banyak cobaan dan masalah yang menimpa diri ini. Beberapa ringan. Beberapa lagi berat. Beberapa lagi sangat berat. Namun bukankah setiap masala yang menimpa membat kita seseorang menjadi lebih matang dalam kehidupannya? (heran ga sih saya menulis kalimat seperti ini).

Di usia ini saya harus melepas beberapa teman. Bukan apa-apa tapi mereka sudah lulus. Sedih sih pasti karena kebayang tidak bakal bertemu dengan mereka setiap hari layaknya sebelumnya. Tak hanya sedih, tapi sedikit terpecut juga untuk menyelesaikan folder yang berjudul si S. Sedikit….

Tapi selain yang sedih-sedih, 21 juga banyak memberikan kegembiraan.

Saya gembira karena bisa beli hard disk eksternal. Karena dengan begitu koleksi film dan dorama saya bisa tersimpan dengan aman di sana. Tsk, sederhana sekali ya kadar kegembiraan saya!? Baik-baik ya kamu dek Young (ini nama HD saya), jangan kena virus apalagi sampai terformat. Unnie bisa nangis 3 hari 3 malam sambil mandi kembang tengah malam kalo itu terjadi T^T

Terus saya senang bisa bertemu dan menjalin hubungan dengan kalian, teman-temanku yang hebat. Yang semangat mendonlot serial drama Asia-nya setinggi semangat mengerjakan skripsinya. Yang tawa dan candanya selalu bisa membuat saya semangat ke kampus. Yang selalu mencerahkan suasana hati saat sedang galau. Yang selalu membangkitkan semangat saya saat sedang bersedih. Emang pernah bersedih? Pernah lah. Lo kate gue cuman haha hehe doang!?

Apa lagi ya? Emm…oh ya! Saya diterima judul skripsinya. Hurrah! *lemparin petasan ke Yoona*. Walaupun dalam perjalanannya agak sedikit, ehm, tersendat namun itu cukup membuat saya senang. Cukuplah saya bilang kemaren saya sampai sujud syukur saat melihat pengumumannya.

One more dream, wanting to know the continuation of the far away dream (One More Dream – SPEED)

22. Menurut Ardi Wilda di komennya setahun yang lalu, ini adalah usia di mana seseorang menentukan masa depannya. Mau jadi apa kamu? Akan ke mana kau akan melangkah? Ya, intinya di usia ini kita mau tak mau harus menentukan ke mana langkahnya, Dengan kata lain: menjadi dewasa.

Uh, menjadi dewasa. Saya tak mau jadi dewasa.  Apakah ini sudah saatnya? Mau tak mau ya….

Impian saya untuk usia ini apa ya? Hmmm….let’s see.

Lulus itu sudah pasti. Di usia ini bukan hal yang aneh jika kita ditanya “sudah lulus?” atau “skripsi sudah sampai mana?”. Justru tidak wajar saat kita ditanyai “apakah kamu pernah makan Indomie di Slovenia?” karena 1) saya belum pernah ke Slovenia dan 2) karena itu saya tidak tahu apakah di Slovenia ada Indomie atau tidak. Jangan-jangan Slovenia itu seperti Italia yang tidak menjual Indomie. Dan untuk itu saya harus pergi ke Belanda untuk membelinya. Jauh cyin…

Makanya agar cepat lulus saya mesti ngebut untuk mengerjakan skripsi. Ibarat mobil, saya mesti menjadi Ferrari 458 Italia yang diberi bi-turbo dan bodinya diganti semua dengan serat karbon, atau Porsche Carrera GT yang diberi 6 tabung NOS sekaligus. Mas Dosen Pembimbing, semoga Anda tidak bosan jika sering bertemu saya di hari-hari ke depan.

Apa lagi?

Mencari jodoh seperti Maher Zein atau Aediz sepertinya patut dipertimbangkan. Kerja nampaknya menjadi pikiran yang logis. Kalau bisa sih yang sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Intinya kerjaan yang bisa membuat saya keliling dunia. Wartawan perang mungkin? Atau crew Top Gear? Bisa jadi #mimpiketinggian #ditamparkanankiri.

Tentunya obsesi harapan menambah tinggi badan hingga menjadi seperti Sooyoung belum terhapus dari pikiran. Umur segini ditanyain kapan lulus itu wajar. Ditanyain sudah ada jodoh juga mungkin, emm, wajar. Tapi jika umur segini masih dikira anak kelas dua SMP  itu agak kelewatan juga ya. Ngomong-ngomong terakhir saya ngukur, tinggi badan masih di sekitar 147 cm lho (ini ralat dari postingan sebelumnya). Ini…ini….apa maksudnya iniiii? Apakah perkembangan badan saya sudah mencapai titik nadir!? Katakan ini bohong, Gabriela!

Harapan menambah koleksi dorama tentunya tidak bisa dielakkan. Walaupun dorama season ini sepertinya tidak ada yang hits tapi ternyata banyak dorama season lalu yang bagus. Maka dari itu membeli Sooyoungie part 2 nampaknya perlu menjadi pertimbangan jugak. Ayo ayo siapa yang mau ngopy? #mentalbandarpelem.

Jodoh? Nanti saya pikirkan setelah bertemu Maher Zein atau saat Aediz sudah dewasa.

Ehh terus apa lagi ya? Mmmm…..

Uh saya buruk dalam perencanaan masa depan. Tapi yang pasti keinginan untuk membahagiakan semua orang di sekeliling masih menjadi prioritas utama. Saya senang jika melihat orang lain senang. Selain itu, I need to challenge myself. More and more…

Akhir kata, 21 adalah usia yang luar biasa. 22 masih misteri untuk saya, namun saya yakin usia ini menjadi usia yang tidak kalah bahkan lebih luar biasa dari sebelumnya. So, hello 22! Be good to me, yo!

dashi mannan uri-ui! (Into The New World – SNSD)

(P.S: saya menerima hadiah dalam berbagai macam bentuk. Mulai dari Samsung Galaxy Tab, Galaxy S II, Sony Ericsson Xperia Arc, tipi LED full HD, Sony PSP, Nintendo 3DS, Blue-ray player, dock iPod + compo Philips, lensa Leica DG Elmarit, Sepeda Pinarello Treviso, CD album SPEED, tiket konser SNSD, sampai dikerjakan skripsinya #ngarep)

Thursday, May 26, 2011

Syukur

Setelah dipikir-pikir, saya ini...

Mata minus 4, silinder 3.

Pelipis robek, dijahit enam.

Sel otak kiri sudah ada yang mati.

Perut sudah dibedol. Jejaknya sepanjang 20 cm.

Bahu kiri cidera gara-gara matiin weker.

Tendon di lutut terlalu panjang.

Kelingking kiri gepeng karena kejepit pintu mobil.

Sempat skoliosis. Syaraf punggung terjepit.

Tapi...

Saya masih hidup secara normal. Saya masih bisa belajar. Masih ada orang-orang yang perhatian.

Walaupun itu hanya sebatas menanyakan kabar. Atau sekedar bertanya "bahumu gimana?" Atau sekedar bertanya "mbak, kok jarang kelihatan?"

Tapi itu cukup. Lebih dari cukup. Terimakasih semuanya :)

Published with Blogger-droid v1.6.8

Wednesday, May 25, 2011

Moonshadow

“I'm being followed by a moon shadow. Moon shadow-moon shadow. Leaping and hopping on a moon shadow. Moon shadow-moon shadow” (Moon Shadow – Cat Steven)

Salah satu hal yang sering saya lakukan, selain ngopi, tidur-tiduran, guling-guling, males-malesan, dan nonton film (kok ga produktif semua ya), adalah melihat langit malam. He? Iya, melihat langit malam. Saya suka melihat langit malam. Mungkin ini pengaruh dari lagu Bintang Kecil. Bintang Kecil di langit yang biru, amat banyak menghias angkasa. Saya jadi penasaran, mengapa langit malam yang warnanya hitam itu dikatakan biru di syairnya. Saya penasaran, memangnya ada segitu banyaknya bintang di langit. Memangnya sebanyak apa sehingga tak bisa dihitung?

Saya juga terpengaruh lagu “Ambilkan Bulan” gubahan almarhum AT Mahmud. Lucu saja pikir saya. Kok anak itu minta bulan. Kenapa tidak minta jajan. Kenapa tidak minta permen. Kenapa tidak minta Milo (masih kecil sudah maniak Milo, duh!).

Apalagi dulu di kampung suka ada acara Terang Bulan. Bukan nama martabak, ini semacam acara saat anak-anak main ke luar saat sedang terang bulan. Saaat bulan sedang terang-terangnya memancarkan cahayanya. Kadang saya hanya diam terpaku duduk di lapangan sambil memandang langit malam. Indah.

Mungkin sejak saat itu saya suka memandang langit malam. Kenapa? Menyenangkan saja. Menyenangkan melihat taburan bintang yang banyak itu. Menyenangkan melihat bulan dan perubahan bentuknya. Menyenangkan melihat bulan sabit. Karena itu mengingatkan saya tentang Sailormoon. Menyenangkan melihat bulan purnama yang terang. Ya, saya suka memandang langit malam. Sampai di asrama pun saya memilih menghabiskan waktu memandangi langit malam daripada belajar Fisika.

Jika berbicara tentang langit malam, mau tak mau saya teringat Miranti, sahabat saya. Kami berdua sama-sama suka memandangi langit malam. Miranti ini punya buku yang berisi peta rasi bintang. Lengkap. Dua halaman full colour. Dan kami memutuskan untuk menghafalkannya. Kebetulan langit di asrama terkadang sangat cerah. Bintang-bintang terlihat semua. Saat itulah kami sering berlomba mencari rasi Oricon, Scorpion, atau rasi bintang biduk. Ah, saya kangen masa muda….

Saya juga suka memandangi bulan. Bulan itu bagus. Bulan itu romantis. Tapi saya tidak suka digombali dengan menyamakan muka saya dengan bulan. “Maya, muka kamu indah layaknya bulan”, misalnya. Ih ogah deh. Itu berarti muka saya tidak mulus, banyak lubang di sana-sini, dan bergelombang. Atau gombalan “Maya, sinar di wajahmu mengalahkan sinar bulan”. Ih males. Muka kan tidak bercahaya, mana bisa mengalahkan cahaya bulan (eh padahal bulan juga memantulkan cahaya matahari ya). Ilmiah sedikit lah jika merayu.

Dan jika beneran ada yang menggunakan rayuan tidak bermutu itu, siap-siap terkena SNSD Kick dari saya *minjem kaki Sooyoung*.

Jika ingat bulan, saya selalu ingat terang bulan. Dan ini membuat saya teringat KKN lagi. Ketiadaan listrik ternyata membuat berkah. Kami kembali merasakan yang dinamakan terang bulan. Sungguh, saat itu saya merasa langit terang seterang-terangnya. Tak perlu listrik, tak perlu alat penerangan lainnya. Mendongak ke atas, terlihat ribuan bintang bertaburan. Kami pun refleks menyanyikan soundtrack serial Meteor garden. Lengkap dengan tarian tunjuk-tunjuk bintangnya. Ah elah!

Dan malam ini langit mendung. Tak terlihat bulan atau bintang di langit.

Tapi saya tetap memandang langit malam sambi ditemani alunan Cat Steven dan Moonshadow-nya.

“I'm being followed by a moon shadow
moon shadow-moon shadow
leaping and hopping on a moon shadow
moon shadow-moon shadow

and if I ever lose my hands
lose my plough, lose my land
oh, if I ever lose my hands
oh, well...
I won’t have to work no more

and if I ever lose my eyes
If my colours all run dry
yes, if I ever lose my eyes
oh well …
I won't have to cry no more.

yes, I'm being followed by a moon shadow
moon shadow - moon shadow
leaping and hopping on a moon shadow
moon shadow - moon shadow

and if I ever lose my legs
I won't moan and I won't beg
oh if I ever lose my legs
oh well...
I won't have to walk no more

And if I ever lose my mouth
all my teeth, north and south
yes, if I ever lose my mouth
oh well...
I won't have to talk...

Did it take long to find me
I ask the faithful light
Ooh did it take long to find me
And are you going to stay the night

I'm being followed by a moon shadow
moon shadow - moon shadow
leaping and hopping on a moon shadow
moon shadow - moon shadow
moon shadow - moon shadow
moon shadow - moon shadow”


Published with Blogger-droid v1.6.8

Tuesday, May 24, 2011

Nestapa (Balada Anak Kos)

"Nestapa (kata sifat) keadaan yang sangat sedih atau susah sekali (Kamus Besar Bahasa Indonesia)"

Saya tidak tahu harus berkata apa untuk hari yang sebentar lagi akan berakhir ini. Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa itu sungguh tepat untuk menggambarkan nasib saya.

Berawal dari kejadian pagi tadi, saya sudah wangi, rapi jali dan bersiap untuk pergi ke kampus Seperti biasa, saya bersama Raden Mas (Raden Mas Singomenggolo Jalmowono lengkapnya, jika Anda ingin tahu). Hanya beberapa meter dari kos, saya kok merasa Raden Mas ini bagian belakangnya tidak satabil. Gludak gluduk suaranya. Penasaran, saya lihat ban belakangnya…

Ulala, ban belakangnya sudah rata. Jika Anda mengenal istilah run flat tyres maka ban sepeda saya adalah flat tire dalam arti harfiah. Benar-benar rata. Rim-nya sudah hampir keluar. Dan yang bikin saya panik adalah dop (pentil ban) si Raden Mas entah ke mana. Panik, saya mencari dop yang berwarna hitam di hamparan aspal yang hitam juga. Ketemu. Saya menuju bengkel motor terdekat, yang pemiliknya adalah kenalan saya mengingat kami suka bersepeda. Waktu menunjukkan pukul 09.45….

“Pak, ada dop ukuran 26?” tanya saya

“Wah ga ada, mbak. Adanya yang ukuran 27” katanya. (dalam hati saya berkata, “besok-besok harus upgrade ban jadi 27”)

Si Bapak menyarankan agar saya pergi ke bengkel pak Topo, tetangga yang juga suka sepeda (beliau punya sebuah Pinarello yang selalu diajak ke Pakem setiap Minggu pagi). Saya berjalan menuntun Raden Mas.

Suara vokalis Four Non Blondes yang sedang bernyanyi di iPod memenuhi kepala “What’s going on?

Waktu menunjukkan pukul 10.05…

Sesampainya di sana, bengkelnya belum buka. Asem.

Apa daya, saya memutuskan menuju toko sepeda di daerah Gejayan. Berjalanlah kami di trotoar, muka saya panas. Wajah saya sudah asin asin pahit karena lunturan bedak. “Coba bedakku Shiseido Maquillage, ga luntur deh” begitu pikir saya *plak* *sempet sempetnya*.

Akhirnya kami sampai. Saya langsung mencari ban dalam. Dan kepikiran jika lampu belakang mati dan joknya agak sedikit keras. Saya memutuskan untuk membeli lampu belakang dan sadel Velo Plush. Ditotal sama mbaknya. 210 ribu katanya. Saya pamit menuju ATM terdekat.

Sesampainya di ATM, saya buka dompet. DANG! Yang ada hanya ATM Mandiri.

ATM Shar’e saya entah di mana.

Saya kubek-kubek dompet. Membuang semua nota. Tidak ada.

Waktu menunjukkan pukul 10.45...

Suara vokalis Four Non Blondes yang sedang bernyanyi di iPod semain kencang terdengar di kepala “Hey! What’s going on?

Saya balik ke tokonya. Lemas dan pucat. Ditanya saya oleh mbaknya kenapa. ATM hilang kata saya. Mbaknya menenangkan saya. Saya telpon teman. Tapi dia juga ga punya uang. Saya telpon ibu kos.

Eh di tengah perbincangan tahunya putus. Pulsa habis

Saya mengutuki provider merah.

Akhirnya saya pinjam telpon di toko untuk menelpon kos. Si Mbaknya terus menenangkan saya. Ibu kos bisa meminjamkan uang. Tapi…”kamu ambil ke kos ya, May. Aku mau pergi soalnya”. Jadi saya berjalan ke kosan.
Waktu menunjukkan pukul 11.15...

Suara vokalis Four Non Blondes yang sedang bernyanyi di iPod semain kencang terdengar di kepala “Hey! WHAT’S GOING ON?”

Sampai di kos saya bongkar kamar. Berharap si ATM nyelip atau ternyata ada di saku celana. Sia-sia. Nihil adanya. Saya balik ke toko sepeda.

Waktu menunjukkan pukul entah berapa...

Suara vokalis Four Non Blondes yang sedang bernyanyi di iPod semain kencang terdengar di kepala “I said, ‘Hey!’ WHAT’S GOING ON?”

Saya akhirnya hanya membeli ban dalam. Saya terus-terusan meminta maaf sama mbaknya. Untung mbaknya baik.

Lalu saya ke kampus. Lho? Soalnya saya sudah bingung mau ngapain lagi. Sampai di sana. Duduk di lobi dan berpikir tentang nasib hari ini. Saya ketik kalimat ini:

“Ban dalam sobek, ATM hilang, pulsa habis. What’s worse?”

DibalAs oleh Nea, teman KKN saya “tangan kiri cidera”.

Raam Punjabi bisa bikin sinetron dari cerita saya hari ini.

Di saat kebingungan melanda, saya baru sadar ada email masuk. Dari Arum. Ngajakin sarapan. Saya bales “ATM ku hilang”. Terkejut dia, padahal dia tidak perlu terkejut karena temannya ini sering bertingkah ajaib. “Cepetan diurus” katanya. Ah..Arum ini memang pintar dan bijaksana (yakin saya dia pasti senang jika baca ini).

Maka saya pergi ke kantor Muamalat. Setelah ditanya macam-macam, untuk verifikasi, dan saya minta pemblokiran rekening (ah, saya merasa brilian sekali saat menanyakan ini), kesimpulannya adalah “kartunya nanti kita cetak. Waktunya dua minggu kerja.”

Saat itu saya merasa penyakit tekanan darah rendah saya kumat. Pusing dan berkunang-kunang.

Dan suara vokalis Four Non Blondes yang sedang bernyanyi di iPod semain kencang terdengar di kepala “I SAID, ‘HEY!’ WHAT’S GOING ON?”

Saya lapor Arum. Doi tetap ngajakin makan. Tempatnya? Rempah Asia. Posisi saya di Masjid Kampus. Pendapat saya ada dua:

Pertama, “Arum ngajak berantem sumpah. Masa aku sepedaaan dari Maskam ke Rempah Asia, panasan begini, bahu kiriku sakit lagi”

Kedua, “Ya udah sih, makan mah makan aja. Daripada pingsan seharian belum makan.”

Pendapat kedua yang menang. Saya kayuh Raden Mas dengan sisa tenaga yang ada. Sepanjang jalan menguatkan diri agar tidak pingsan dan meringis menahan sakit. Syukur Ya Allah, saya sampai dengan selamat. Di sana sudah ada segerombolan mas-mas Malaysia lagi ngobrol sampai ketawa ngakak. Saya duduk di seberang cowok yang mukanya mirip Ashraff. Lumayan. Ngademin kepala.

Tak beberapa lama, Arum datang. Kami makan sambil cerita-cerita. Untungnya dia baik mau bayarin saya. Sebenarnya saya takut akan ada hujan badai disertai petir karena perbuatannya itu, tapi ternyata tak ada apa-apa.

Kami pun berpisah. Dia perawatan. Saya balik kosan. Sampai saya di kosan. Utuh tanpa kurang apapun. Lapor lagi ke Arum. Saya mesti anteng. Ga boleh salto katanya. Saya turutin.

Saya buka dompet. Yang tersisa tinggal selembar sepuluh ribuan, selambar lima ribuan, dua lembar uang dua ribu, dan selembar uang seribu. Saya lihat kalender.

Tanggal 30 masih lama.

Kali ini suara Natalie Oreiro yang bermain di kepala “Cambio dolor por libertad...”

Saya tiduran, buka laptop dan marathon nonton tiga judul film sekaligus.

Jika hari Sabtu dan Minggu kemarin kata yang cocok untuk mendeskripsikan nasib saya adalah "DERITA". Maka di hari Selasa ini kata itu berubah menjadi "NESTAPA".

Sekarang tinggal memikirkan cara bertahan hidup dengan uang 20 ribu untuk 3 - 4 hari ke depan *putar otak*

HORUMOOOOO!

Published with Blogger-droid v1.6.8

Sunday, May 22, 2011

Arti Tangan Kiri

Apa arti tangan kiri? Ternyata tangan kiri tidak hanya sekedar untuk c*bok. Tanpa disadari, tangan kiri juga menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian ummat manusia. Aduhai, saya terlihat intelek dan bijaksana sekali saat menulis ini. Jangan tertipu hihihih

Saya kemarin melakukan sebuah kebodohan yang berakibat bahu kiri saya sakit sakit sekaliiiiii (pake nada "naik-naik ke puncak Gunung"). Namun saya tetap melaukan kegiatan seperti biasa. Well, tidak seperti biasa sih, tapi ya intinya tidak ada perbedaan yang signifikan. Tapi dalam perjalanan pulang dar markas Gorgom saya mengalami nyeri yang luar biasa. Apa daya, saya mampir ke apotek langganan (langganan kok ya apotek sih, miris sekali lho nasibku) untuk membeli Salonpas. Berhubung saya lagi banyak uang, saya beli dua macam sekaligus. Varian normal dan varian Pain Relief Patches. Langsung saya pasang toga lembar. Panas? Ho oh. Tapi apa daya, nyeri mengalahkan segalanya.

Nah tadi pagi, di saat saya mengangkat gelas untuk bikin kopi, baru terasa sakit yang amat sangat luar biasa. Onde Mande! Saya meringis kesakitan. Cepat-cepat saya pindahkan gelas dan membuat kopi semata-mata hanya mengandalkan tangan kanan. Kemudian saya tidur-tiduran

Dan selanjutnya saya ingat jika harus mencuci. Dan harus menengok sepupu yang lagi ikutan bimbingan belajar di daerah Taman Siswa. Saya coba mencuci secara normal dan gagal. Karena jangankan mengucek, mengangkat tangan saja saya merasa kesakitan. Ya sudah saya mencoba mencuci dengan satu tangan. Dan itu repot kakak. Tapi saya bangga sekali bisa mencuci dengan satu tangan.

Karena semakin lama semakin nyeri (dan semakin ga bisa ngapa-ngapain), saya mendatangi teman yang kuliah di FK. "Mbak, ini kayaknya robek deh. Coba kamu periksa dokter." katanya Duh, serem saya. Tapi saya ingat satu kewajiban lagi, menengo sepupu di Taman Siswa. Uh...jika boleh memilih saya lebih baik mendatanginya di saat keadaan bahu ini sudah lebih baik. Tapi berhubung saya sepupu yang baik hati, cantik, rajin menabung, dan berkebun (Pembaca langsung melempar batu), maka saya berangkat ke sana. Oh Mama Oh Papa, setiap saya menarik tuas rem itu adalah saat paling menderita. Dan saya harus menarik tuas rem berulang kali kecuali saya ingin kecelakaan lagi (dan di jalan saya bertemu gebetan. IHI!)

Rasa sakit yang mendera sepanjang perjalanan membuat saya berkata "This is it!" eh bukan "That's it. Aku harus beli obat!" Maka saya menuju apotik di samping UNY. Masuk ke sana dan mencari Counterpain. Mungkin karena muka saya terlihat sakit sekali, saya disarankan untuk perikas dokter. Hasilnya? "Mbak, itu ligamen di sekitar tulang belikatnya ada yang robe" kata mbak dokter. "APAAA!?" saya terkejut. "Iya, mbak. Tapi cuma sedikit kok" ujar mbak dokter buru-buru menenangkan. Saya diberi salep dan obat yang harus diminum. Plus saran lain "tangan kirinya jangan banyak beraktifitas ya, mbak"

Sesampainya di kos, saya memikirkan arti tangan kiri.

Tanpa tangan kiri kita tidak bisa mengucek dan memeras cucian dengan benar.
Tanpa tangan kiri kita tidak bisa membuat kopi dengan cepat.
Tanpa tangan kiri kita tidak bisa mengetik di hape QWERTY dengan nyaman.
Saat tangan kiri kita tidak bisa dipakai, maka memakai baju menjadi kegiatan yang sungguh menghabiskan waktu.
Saat tangan kiri sakit, maka kegiatan menarik tuas rem motor menjadi kegiatan yang menyiksa.
Saat tangan kiri tidak bisa dipakai, maka menulis blog menjadi kegiatan yang rasanya dilakukan sejak jaman megalitikum. Saking lambatnya kita mengetik.

Seperti yang saya lakukan hari ini.

*tenggak Neurodex*

Saturday, May 14, 2011

Ingin Tinggi (Balada Gadis Semampai)

Ni hwasareun trouble trouble trouble nareul no ryeosseo [As expected you’re trouble trouble trouble. It aimed at me…]” Hoot – SNSD

Itu lagu yang diputar di iPod saat saya mulai menulis. Uhh…kenapa mesti Hoot sih? Ini kan lagu yang wah-mak-jleb-banget.

Kenapa wah-mak-jleb-banget? Jadi ini lagunya SNSD. Siapa itu SNSD? Kecuali Anda tinggal di Kutub Utara, maka seharusnya Anda tahu siapa mereka. So Nyuh Shi Dae alias SNSD alias Girls’ Generation. Mereka adalah sembilan cewek Korea yang tinggi-tinggi dan kakinya puanjaaaaang puanjaaaaang. Kalo kata teman (cowok) saya sih, boneka berjalan. Halah!

Nah satu scene di video klip lagu ini yang bikin wah mak jleb banget. Jadi ada scene di mana kamera berada di posisi low angle (posisi kamera ada di bawah, lebih rendah dari level mata normal) untuk menyorot salah satu anggotanya berjalan ke depan. Kostumnya? Setelan high waist ala Star Trek (you know lah, baju berwarna keemasan yang modelnya futuristis) yang membuat kaki pemakainya terkesan lebih panjang (dan otomatis membuat mereka terlihat lebih tinggi). Scene ini yang membuat saya nyakar tembok saking keselnya. Euh….ini cewek udah tinggi banget kenapa harus dibuat terlihat lebih tinggi sih??? Trouble! Trouble! Trouble! #misuh

Choi Sooyoung. Itu namanya. Cewek ini sering saya asosiasikan dengan istilah “cewek-kaki-panjang”, “eneng-kaki-panjang”, atau “Dek Young”. Dua istilah pertama merujuk pada fakta doi adalah cewek berkaki terrrr-puanjaaaaaaang yang pernah saya lihat. Tidak cuma berkaki panjang, cewek kelahiran 10 Februari 1990 ini (hafal!) juga beruntung dianugerahi tubuh yang tinggi.

Sooyoung itu sinonim dari tinggi. Karena memang badannya tinggi. Tinggi sekali. Tinggi…tinggi sekaliiiiiiiiiiiii (kata ini harus diucapkan dengan nada “Naik-naik ke Puncak Gunung”). Dalam biodatanya, dikatakan jika tinggi badannya mencapai 170 cm. Itu pun masih ditambah keterangan “and still growing”. Singkat, padat, dan menyakitkan. Meeeen, masih bisa nambah tinggi lagi!? Itu kaki, yang sudah kaya tiang, masih bisa nambah panjang lagi? KOPROL!



(Choi Soo Young. Gadis tinggi yang berkaki panjang)


Filsafat China mengenal istilah Yin dan Yang. Begitulah gambaran hubungan saya dan Sooyoung (dikejar Sooyoungster. I better run…run…run). Jika Sooyoung itu tinggiiiii tinggiiiiii sekaliiiii, maka saya itu pendek pendek sekali. Ya, saya pendek. Pendek sekali. Sangat amat pendek.

Dengan tinggi badan yang mentok di angka 149 cm bolehlah dibilang saya ini gadis nan semampai. Semampai… semeter lima puluh tidak sampai. Survey membuktikan (halah, saya jadi terdengar seperti Sony Tulung) jika saya masih muat di alat pengukur tinggi badan yang ada di Posyandu. Pendek banget, kan? Makanya saya benci dengan alat pengukur tinggi.

Sudah pendek, berat badan saya mentok pula di angka 40 kg. Tidak kurang dan tidak lebih. Jarum angka di semua timbangan yang sudah pernah saya coba tak pernah bergeser dari angka tersebut. Tidak peduli saya cuma makan mie 3 hari 3 malam (pernah lho, betapa tidak sehatnya hidup ini) atau makan segila-gilanya orang makan (ini juga pernah, waktu seminggu di Padang). Muka pun lebih condong ke arah anak SMP kelas 3 dibanding mahasiswa (dirajam). Teori-teorian ngawur untuk ini adalah saya berhenti tumbuh di bulan Agustus 2004. Saat berat badan naik 3 kg dan tinggi badan naik 3 cm dalam tiga minggu.

Dengan figur dan muka yang seperti ini, saya sering dianggap 5-10 tahun lebih muda #berlebihan. Asyik? Asyik bang-get jika anda bisa dapet DISKON buat naik Kora-Kora di Dufan (sayangnya ga pernah. Cih!). Tapi jadi tidak asyik, bahkan menyebalkan, jika selalu dapat pertanyaan “dek, selesai UAN mau daftar SMA mana?” Hell-o, saya sudah mahasiswa semester banyak dan masih saja ada yang tanya mau masuk SMA mana? LONCAT DARI MONAS!

Chairil Anwar, dalam “Aku”, pernah bermimpi “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Sayangnya, saya tidak sekeren beliau, jadi saya cuma bisa bermimpi “Aku ingin tumbuh 20 sentimeter lagi”. Ya…ga segitu juga ga papa sih. Sepuluh, sebelas, atau lima belas sentimeter lagi juga tak apa. Asal bisa melewati angka 150 cm. Asal tidak lagi jadi gadis semampai. Ya…nasib!

Bukannya pasrah pada nasib. Saya berusaha buat jadi tinggi kok. Soalnya saya memang ingin tinggi dari dulu. Makanya saya dulu minum Milo sampai tiga gelas sehari. Walaupun itu cara yang salah (baca di sini). Makanya dulu saya rajin olahraga. Apa saja, asal orang bilang itu bisa ninggiin badan. Renang, basket, sampai gelantungan di tiang mainan TK saya lakukan. Tapi tetap saja tidak berpengaruh. Waktu main basket, saya selalu dipasang sebagai Point Guard. Praktis, saya lebih sering memberikan assist dibanding melakukan shoot. Sekalinya shoot, ya itu jump shoot, bukan lay up, apalagi dunk (tiang basket itu tinggi, kakak…). KAPAN TINGGINYA?

Sampai sekarang pun saya masih ingin bertambah tinggi. Tak peduli dengan orang-orang yang mengatakan jika wanita berhenti tumbuh di usia 21 tahun. Toh, Amami Yuki bilang jika dia masih tumbuh sampai usia 25 tahun. Uraaaaaa! Tante BOSS ini memag angker! Tirai belum tertutup untuk saya, kawan….

Saya ingin tinggi. Benar-benar ingin tinggi. Sampai eneg dan blenger rasanya beli Anlene One A Day, susu yang konon kalsiumnya lebih tinggi dari susu yang lainnya. Sampai eneg juga rasanya beli Cimory, karena katanya yoghurt memiliki kalsium yang lebih tinggi dibanding susu. Kayaknya semua metode untuk menambah tinggi badan sudah saya coba namun hasilnya nihil. Semua, kecuali memakai high heels, stiletto, atau sepatu ulekan ber-hak pembunuh (killer heels). Tapi yang ini sih memang tidak berniat untuk mencobanya. Ih ogah ogah ogaaaah! Mending beli Nike Zoom atau Reebok PUMP.

Dua hari yang lalu, ada rumor jika SNSD akan konser ke Jakarta tanggal 22 Oktober. Saya mulai terpikir untuk beli stretcher badan atau insole 20 cm. Biar apa? Biar tambah tinggi lah, biar ga malu waktu foto sama Dek Young. Jika itupun gagal, apa boleh buat, saya mungkin akan menyelinap ke belakang panggung untuk mengekstrak DNA Sooyoung….

SALAM KOPROL!

Wednesday, May 11, 2011

Rindu Muntok

“Ade kute bersejarah. Di hujung barat pulau Bangke. Kute Muntok namanye. Kute lame, kute pelabuhan” (Kute Lame – Entah siapa yang menyanyikannya)

Hari ini saya melanggar (semacam) janji saya. Akhir tahun lalu, tepatnya bulan November, saya sempat berjanji untuk tidak menonton bioskop sampai Battle Royale 3D ditayangkan di Indonesia. Sebuah hal yang tidak mungkin, mengingat betapa brutalnya adegan film rilisan tahun 2000 ini, adalah sebuah sebuah keajaiban jika BR dapat ditayangkan di Indonesia. Tapi tidak ada salahnya kan berharap? Saya rindu Mitsuko…

Tapi hari ini janji itu gugur sudah. Salahkan film ini The Mirror Never Lies. Film inilah yang membuat janji itu bertahan lebih lama (saya praktis tidak pergi ke bioskop selama setengah tahun ini). Kenapa harus The Mirror Never Lies? Karena ada Reza Rahadian. Itu cukup menjadi alasan.

Saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang film yang disponsori WWF ini. Cukuplah saya bilang jika saya menahan nafas setiap melihat Wakatobi. Tertawa saat adegan teman Pakis dan Lumo yang pintar menyanyi itu menyanyi dengan pantun. Cukuplah saya bilang jika Reza Rahadian (yang luar biasa ganteng di sini) dapat membuat saya tidak berkedip. Cukuplah saya bilang jika akhirnya muncul kesimpulan “agar bisa ditaksir Reza Rahadian, kita harus maskeran setiap hari”.

Dan sepertinya tulisan ini mulai ngaco…

Menonton film ini, setidaknya menimbulkan dua hal dalam diri saya. Pertama, jelas ingin menculik Doraemon dan meminta Pintu-Ke Mana Saja agar dapat ke Wakatobi. Kedua, muncul gambaran tentang sebuah kota kecil di ujung barat Pulau Bangka. Kota Muntok.
Muntok namanya. Sebuah kota tempat saya dan teman-teman dari Unit 160 melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata setahun yang lalu. Sumpah, sepanjang film ini, saya seperti melihat Muntok. Sunsetnya, pantunnya, pasir putihnya, ah…semuanya. Mungkin saya sedang delusi, tapi inilah yang dinamakan rindu.

Ya…saya RINDU MUNTOK.

Saya rindu Muntok. Rindu dengan kotanya yang kecil dan bersahaja. Rindu dengan ibu kue, yang selalu menjajakan bubur lezat dan kue ubi segede gaban (ya, orang Bangka tak pernah sarapan). Rindu dengan polah binatang garang di pondokan…ayam rock ‘n roll (bisa manjat dan loncat pagar), nyamuk metal (nyamuk yang kalo menggigit luar biasa gatal), dan semut hardcore (bisa loncat dan gigit orang yang sial tidur di bawahnya). Rindu dengan listrik yang padam sehabis Maghrib…

Saya rindu Muntok. Rindu dengan sejuknya embun di pagi hari. Rindu dengan keindahan alaminya. Rindu dengan seberkas cahaya terang eh…seberkas cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar. Rindu dengan birunya langit sepanjang hari. Rindu dengan langit senja yang luar biasa indahnya. Rindu dengan ribuan bintang yang terlihat jelas setiap malam.

Saya rindu Muntok. Rindu dengan keharmonisannya. Rindu dengan pemandangan Klenteng dan Masjid yang saling berdampingan. Rindu dengan semerbak harum kopi dari warung yang bertebaran di dekat pasar. Rindu dengan gurihnya bakwan depan Masjid Jami’. Rindu lezatnya pempek dan segarnya es serut Toko Ayien. Rindu dengan keramahan Koh Awie.

Saya rindu Muntok dan segala keterbatasannya. Saya rindu dengan hompimpa untuk menentukan siapa yang harus benerin trafo di Musholla dekat pondokan saat listrik mati lagi-lagi. Saya rindu gelap dan seramnya jalan menuju pondokan. Saya rindu absennya tiang listrik. Saya rindu pemandangan yang bersih dari minimarket di sepanjang jalan. Saya rindu dengan sepinya jalan karena jarang ada kendaraan yang melintas. Rindu dengan motor Yuk Een yang tanpa sein, rem yang pakem, dan indikator yang mati semua. Rindu dengan si Angkot eh Mbah Alphard (seunit Suzuki Carry yang dipinjamkan kepada kami) yang tanpa lampu dan indikator bensin , yang membuat kami harus mendorongnya saat puasa hari pertama (gempor kakakkk…)

Saya rindu Muntok dan orang-orangnya. Rindu dengan keluarga Bang Pen yang hebat. Rindu dengan orang-orang di Teluk Rubiyah (kami menyebutnya Rubiye). Rindu dengan Bu Rosmin yang makanannya lezat. Rindu dengan orang dekat Posyandu yang selalu mutar “Mabok Janda” selama kami di sana. Rindu dengan Yuk Een yang bawel dan selalu bertengkar dengan Ananto sambil berkata “Buduh kau Ananto”. Rindu dengan Tiara yang kami nobatkan sebagai Mitha The Virgin KW1 saking miripnya.

Dan ya…saya rindu Akamsi. Semua. Sinta yang cerdas. Ame yang sangar. Cindy yang lucu. Cici yang manis. Akamsi Rubiye yang garang dan mulai lancar main laptop. Panggilan main mereka di terik matahari yang nongnong. Rindu main petak umpet di halaman pondokan. Rindu dengan panggilan “A’ Maya…ayo ngaji!”. Rindu mengendap-endap masuk kamar untuk menghindari Akamsi saat lelah mendera.

Ah..semua…semua…! Saya rindu Muntok dan segala yang ada di dalamnya.

Boleh kah KKN lagi?
Published with Blogger-droid v1.6.8