Wednesday, May 11, 2011

Rindu Muntok

“Ade kute bersejarah. Di hujung barat pulau Bangke. Kute Muntok namanye. Kute lame, kute pelabuhan” (Kute Lame – Entah siapa yang menyanyikannya)

Hari ini saya melanggar (semacam) janji saya. Akhir tahun lalu, tepatnya bulan November, saya sempat berjanji untuk tidak menonton bioskop sampai Battle Royale 3D ditayangkan di Indonesia. Sebuah hal yang tidak mungkin, mengingat betapa brutalnya adegan film rilisan tahun 2000 ini, adalah sebuah sebuah keajaiban jika BR dapat ditayangkan di Indonesia. Tapi tidak ada salahnya kan berharap? Saya rindu Mitsuko…

Tapi hari ini janji itu gugur sudah. Salahkan film ini The Mirror Never Lies. Film inilah yang membuat janji itu bertahan lebih lama (saya praktis tidak pergi ke bioskop selama setengah tahun ini). Kenapa harus The Mirror Never Lies? Karena ada Reza Rahadian. Itu cukup menjadi alasan.

Saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang film yang disponsori WWF ini. Cukuplah saya bilang jika saya menahan nafas setiap melihat Wakatobi. Tertawa saat adegan teman Pakis dan Lumo yang pintar menyanyi itu menyanyi dengan pantun. Cukuplah saya bilang jika Reza Rahadian (yang luar biasa ganteng di sini) dapat membuat saya tidak berkedip. Cukuplah saya bilang jika akhirnya muncul kesimpulan “agar bisa ditaksir Reza Rahadian, kita harus maskeran setiap hari”.

Dan sepertinya tulisan ini mulai ngaco…

Menonton film ini, setidaknya menimbulkan dua hal dalam diri saya. Pertama, jelas ingin menculik Doraemon dan meminta Pintu-Ke Mana Saja agar dapat ke Wakatobi. Kedua, muncul gambaran tentang sebuah kota kecil di ujung barat Pulau Bangka. Kota Muntok.
Muntok namanya. Sebuah kota tempat saya dan teman-teman dari Unit 160 melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata setahun yang lalu. Sumpah, sepanjang film ini, saya seperti melihat Muntok. Sunsetnya, pantunnya, pasir putihnya, ah…semuanya. Mungkin saya sedang delusi, tapi inilah yang dinamakan rindu.

Ya…saya RINDU MUNTOK.

Saya rindu Muntok. Rindu dengan kotanya yang kecil dan bersahaja. Rindu dengan ibu kue, yang selalu menjajakan bubur lezat dan kue ubi segede gaban (ya, orang Bangka tak pernah sarapan). Rindu dengan polah binatang garang di pondokan…ayam rock ‘n roll (bisa manjat dan loncat pagar), nyamuk metal (nyamuk yang kalo menggigit luar biasa gatal), dan semut hardcore (bisa loncat dan gigit orang yang sial tidur di bawahnya). Rindu dengan listrik yang padam sehabis Maghrib…

Saya rindu Muntok. Rindu dengan sejuknya embun di pagi hari. Rindu dengan keindahan alaminya. Rindu dengan seberkas cahaya terang eh…seberkas cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar. Rindu dengan birunya langit sepanjang hari. Rindu dengan langit senja yang luar biasa indahnya. Rindu dengan ribuan bintang yang terlihat jelas setiap malam.

Saya rindu Muntok. Rindu dengan keharmonisannya. Rindu dengan pemandangan Klenteng dan Masjid yang saling berdampingan. Rindu dengan semerbak harum kopi dari warung yang bertebaran di dekat pasar. Rindu dengan gurihnya bakwan depan Masjid Jami’. Rindu lezatnya pempek dan segarnya es serut Toko Ayien. Rindu dengan keramahan Koh Awie.

Saya rindu Muntok dan segala keterbatasannya. Saya rindu dengan hompimpa untuk menentukan siapa yang harus benerin trafo di Musholla dekat pondokan saat listrik mati lagi-lagi. Saya rindu gelap dan seramnya jalan menuju pondokan. Saya rindu absennya tiang listrik. Saya rindu pemandangan yang bersih dari minimarket di sepanjang jalan. Saya rindu dengan sepinya jalan karena jarang ada kendaraan yang melintas. Rindu dengan motor Yuk Een yang tanpa sein, rem yang pakem, dan indikator yang mati semua. Rindu dengan si Angkot eh Mbah Alphard (seunit Suzuki Carry yang dipinjamkan kepada kami) yang tanpa lampu dan indikator bensin , yang membuat kami harus mendorongnya saat puasa hari pertama (gempor kakakkk…)

Saya rindu Muntok dan orang-orangnya. Rindu dengan keluarga Bang Pen yang hebat. Rindu dengan orang-orang di Teluk Rubiyah (kami menyebutnya Rubiye). Rindu dengan Bu Rosmin yang makanannya lezat. Rindu dengan orang dekat Posyandu yang selalu mutar “Mabok Janda” selama kami di sana. Rindu dengan Yuk Een yang bawel dan selalu bertengkar dengan Ananto sambil berkata “Buduh kau Ananto”. Rindu dengan Tiara yang kami nobatkan sebagai Mitha The Virgin KW1 saking miripnya.

Dan ya…saya rindu Akamsi. Semua. Sinta yang cerdas. Ame yang sangar. Cindy yang lucu. Cici yang manis. Akamsi Rubiye yang garang dan mulai lancar main laptop. Panggilan main mereka di terik matahari yang nongnong. Rindu main petak umpet di halaman pondokan. Rindu dengan panggilan “A’ Maya…ayo ngaji!”. Rindu mengendap-endap masuk kamar untuk menghindari Akamsi saat lelah mendera.

Ah..semua…semua…! Saya rindu Muntok dan segala yang ada di dalamnya.

Boleh kah KKN lagi?
Published with Blogger-droid v1.6.8

No comments:

Post a Comment