Dua korban tahap awal, Damar dan Handyna, sudah berhasil digarap. Konon Damar bahkan langsung cuci blow ke Rinjani setelah disiram Coca-Cola. Lengket lengket basah dingin gimana gitu katanya. Mehehe….
Malamnya, saya pergi ke Cinnamon, di mana saya bertemu sang storyteller berinisial A. Sebut saja namanya Awe. Sering sekali ya saya menyebut namanya di sini? Ah jangan berpikiran macam-macam. Di sana Awe sedang duduk bersama Mbak Pulung, Dek Ijah Imut, dan Ocha Gorgom. Ya, mereka pasti sedang merekap dan mengecek tulisan peserta lomba menulis ini.
Setelah Awe selesai merekap dan memposting tulisan, dan saya sudah selesai download video Hello Baby SNSD, kami duduk bareng. Saya tanya siapa yang akan didadar. Mas Willy dan Mas Iqbal Babal Hamdan katanya.
"Heh sesuk Willy didadar jam piro?" tanya saya (heh, besok Willy didadar jam berapa)
"jam siji cum" jawab Awe (jam satu Cum)
Setelah itu, Kak Maya dan Awe, dua manusia yang agak kurang kerjaan, membuat rencana untuk merayakan kelulusan mas Willy. Kenapa harus dirayakan? Kenapa harus Willybrodus Yudha? Karena eh karena:
1. Mas Willy adalah pemandu kelompok Makrab saya dulu.
2. Mas Willy beserta Mas Gilang adalah dua pria berbadan besar yang sering menepuk saya dari belakang. Niatnya menepuk, kenyataannya saya kelempar 5 meter ke depan #lebay
3. Mas Willy adalah Liverpudlian dan saya Gooners sekaligus Yiddos. (njuk ngopo lho, May)
4. Mas Willy adalah pria yang pintar memasak.
5. Mas Willy adalah orang yang sering mengingatkan Awe untuk sholat.
Oke, alasan yang dikemukakan memang tidak penting. Tapi pokokmen kami merasa HARUS merayakan pendadaran mas Willy. Dan kami mempunyai ide yang sangat asoy untuk itu.
"Nggawe spanduk nggo Willy yuk, We" (bikin spanduk buat Willy yuk we)
"Ooh, ide bagus kuwi cum. Ayo nggawe sing heboh"
"Enaknya gimana ya spanduknya?"
Di sinilah
"Nganggo kain wae. Men apik"
"Oh yo, bener We. Ditulisi nganggo pylox sisan"
"Oh ya, bener-bener. Mantep kuwi, Cum. Apik!"
Kami pun sepakat untuk membuat spanduk dari kain untuk Mas Willy. Kesepakatan dibuat. Saya yang bagian beli-beli. Awe yang bagian mengerjakan. Besoknya ketemu di kampus. Oke. Saya pun pulang.
Keesokan harinya, dimulailah perburuan saya mencari bahan-bahan untuk spanduk mas Willy. Hari itu cerah. Mentari bersinar sangat terik. Langit biru. Tanpa awan putih sedikit pun yang menggantung. Panas lah intinya. Saya gowes menuju Jl.Solo. Ke deretan toko kain yang berjejer di sana. Seperti sebelumnya, sesaat setelah saya masuk ke dalam tokonya, lagu yang diputar berubah. Dari Armada menuju ke soundtrack film India. Kali ini, soundtrack film Mohabbatein. Iseng sekali sih pegawainya.
Singkat kata, saya akhirnya berkeliling mencari kain sambil sesekali menyenandungkan lagu yang sedang diputar (ternyata hafal). Pilah pilih pilah pilih. Saya tanya pegawainya kain yang saya butuhkan. Putih, polos, murah, dan tebal. Biar tidak tembus saat disemprot pylox. Tanpa tedeng aling-aling, pegawainya bertanya "mbaknya mau demo ya?" Kaget saya, "Enggak, mas! Bukaaaan. Saya ga hobi demo". Akhirnya ketemulah kain yang dibutuhkan. Saya beli dua meter. Kemudian menuju kasir untuk bayar.
Saat mengantri di kasir, saya mematutkan diri di cermin. Dengan vest yang lusuh, celana jeans, sneakers, dan masker wajah, bentukan saya memang lebih cocok sebagai orang yang akan berdemo daripada mahasiswa imut lucu dan unyu #eh. Dibayar, saya lanjut ke kampus. Ampun, panas banget udaranya. Tapi demi dia. Demi Mas Willy, pria besar bertampang sangar tapi harum layaknya bunga mawar #eaaaa, saya meneguhkan diri gowes ke kampus. Sampai. Kampus sepi karena dipakai SNMPTN. Celingak-celinguk saya cari Awe. Tidak ada. Saya telpon anak gaul Klender ini. Ternyata pulsa habis. Cih! mahal sekali sih pulsa si Merah ini.
Oh, untung ada Matahari. Saya pinjam handphone miliknya untuk mengirim SMS. “ning ndi kowe?” bunyinya. Sembari menunggu jawaban, saya menuju lokasi ruang sidang. Tak lama, doski eh Awe datang. Kami pun segera beraksi. Kain putih kami rentangkan. Pylox dikocok-kocok. Belum sempat pylox disemprot, kami sudah disemprot petugas CS, “Hei, jangan corat-coret di lantai”. Dikiranya kami mau melakukan vandalisme (sebenarnya iya sih)
Apa boleh buat, kami pun melipir ke, emm…apa ya namanya itu. Entahlah. Yang jelas semacam ruang kosong di lantai satu. Ya, kami ke sana dan mulai
Mengingat keterbatasan kain dan radius semprotan pylox yang besar, maka kami memilih menyemprotkan kata-kata yang singkat namun garang oy. Kata yang kami pilih adalah, jreng jreng jreng, “WILLY, S.IP” dan “ANGKER”. Kenapa harus S.IP? Karena Mas Willy adalah Sarjana Ilmu Perradioan #ngacoah. Kenapa angker? Karena....karena...doi ANGKER mamen! Etapi walau perawakan doski angker, namun sesungguhnya dia adalah pria yang hobi masak. Uff, anyway, kami pun mulai beraksi.
Oknum Awe sedang beraksi
Setalah selesai semua, kami punya gagasan yang lebih asoy lagi. “Piye nek digantung wae, We? Jadi semua orang bisa tahu kalo Willy sudah lulus. Sarjana lho iki. SARJANA, coy!” ujar saya berapi-api. “Oh ya, betul juga Cum. Angker ki. Willy ki sarjana angker!” balasnya. Dan adegan selanjutnya bisa anda tebak, kami BENAR-BENAR MENGGANTUNG spanduk yang tulisannya WILLY, S.IP di lantai satu.
Berpose bersama dik Matahari
Tak beberapa lama, mbak Mayda sang penyiar Swaragama datang. Hore! Mas Willy pendukungnya tambah banyak.
Sekitar jam 2-an, Mas Willy keluar dari sidang dan dinyatakan LULUS! Segera kami serahkan spanduk mahakarya itu dan tak lupa berfoto bersama.
Foto dulu dong, cyiiin
Rawk, mamen!
Gayanya harus menggambarkan keangkeran. Rrrawwwr!
Akhir kata, selamat untuk Willybrodus Yudha, S.IP. Sarjana Ilmu Perradioan #ngawur. Kami tunggu sumbangsihmu untuk bangsa dan negara #tsaaah.
SALAM ANGKER! Rrrawr!
No comments:
Post a Comment