“Laut yang tenang tak kan menghasilkan pelaut yang tangguh” - Ir. Zulhiswan.
Sejak semalam saya terserang sakit kepala yang luar biasa , karenanya saya putuskan untuk langsung tidur setelah shalat Subuh. Saya bangun sekitar pukul sembilan untuk kemudian membuka handphone dan mengecek twitter.
Kemudian kabar itu datang di pagi yang cerah dan tenang. Tak sengaja saya membaca twit dari @Risty25, akun twitter milik Risty teman semasa SMA. Twitnya berbunyi seperti ini:
“dua tahun yang lalu, k sena dipanggil Allah tanggal 27 Ramadhan. Hari ini, 29 Ramadhan, Pak Zulhiswan menyusul…. :’(“
Perlu beberapa saat bagi saya untuk mencerna maksud twit tersebut. Sesaat kemudian kalimat Innalillahi wa Innailaihi Raji’un meluncur. Sesaat kemudian saya kembali tersadar lebih jauh. Tersadar dengan kenyataan yang ada.
Pak Zulhiswan meninggal dunia. Pak Zulhiswan sudah diambil oleh Yang Maha Kuasa. Pak Zulhiswan sudah kembali ke haribaan-Nya.
Di titik ini saya terguncang. Pandangan saya kabur. Beberapa tetes air mulai jatuh dari mata. Saya bukan tipe orang yang gampang menangis, tapi kabar di pagi ini membuat saya menangis. Entah kapan terakhir kali saya menangis hingga seperti itu.
Pak Zulhiswan meninggal dunia. Tumor otak menjadi jalan bagi beliau untuk bertemu dengan Sang Khalik.
Pak Zul, begitu beliau biasa disapa adalah guru Matematika saya saat bersekolah di MAN Insan Cendekia Serpong. Beliau resmi mengajar kami saat kami duduk di kelas XI. Lebih tepatnya beliau mengajar anak-anak kelas XI IPS.
Pak Zul adalah guru yang hebat. Saya tak pernah suka dengan matematika ataupun pelajaran yang terkait dengan angka-angka yang lainnya. Namun sebenci-bencinya saya dengan matematika, saya tak bisa membencinya saat diajar oleh Pak Zul. Sebodoh-bodohnya saya dalam Matemetika, saat diajar olehnya saya hampir tidak pernah remedial. Saya tak pernah memiliki antusiasme besar untuk belajar matematika sebelum saya diajar oleh beliau.
Namun Pak Zul lebih dari sekedar guru yang hebat. Pak Zul adalah pendidik sejati. Beliau tidak hanya mengajar tapi memberikan inspirasi bagi kami, murid-muridnya. Beliau tidak hanya mengajar tapi selalu memberikan petuah setiap kali beliau mengajar. Beliau selalu memberikan motivasi bagi kami.
“Laut yang tenang tak kan menghasilkan pelaut yang tangguh” adalah salah satu kata-katanya yang selalu terngiang di setiap benak kami.
Pak Zul lebih dari sekedar guru bagi kami. Beliau adalah sosok orangtua bagi kami. Ayahanda, itu sebutan kami untuk beliau. Ya, beliau adalah sosok ayah bagi kami. Ayah yang welas asih, ayah yang bijaksana, ayah yang mengayomi anak-anaknya. Pak Zul pun menganggap kami sebagai anak-anaknya. Saat ditanya di mana anak bapak, beliau menunjuk kami dan berkata, “Kalian anak-anak bapak” dengan suaranya yang lembut itu.
Pak Zul adalah orang yang berdedikasi tinggi. Di saat tumor otak mulai membayanginya beliau masih setia mengajar kami, murid-muridnya. Semangatnya luar biasa dan ditambah dengan optimisme yang juga luar biasa. Walau untuk itu beliau harus menjalaninya dengan perjuangan yang luar biasa. Bahkan Pak Zul sendiri lah yang memberi kabar tentang penyakitnya ke guru-guru kami yang lain.
Sosok Pak Zul sangat melekat di hati kami. Sehingga saat beliau harus menjalani operasi tumor, murid-muridnya bahu membahu membantu biaya pengobatan serta perawatan yang harus beliau jalani. Perwakilan IAIC pun sempat beberapa kali menjenguknya. Setidaknya itu yang bisa kami lakukan untuk membalas jasa-jasanya.
Pak Zul berjuang melawan tumor otak selama empat bulan lebih. Berbagai cara pengobatan dilakukannya, ada yang berhasil dan ada yang gagal. Hebatnya, Pak Zul tetap optimis dan memberikan motivasi bagi orang-orang yang menjenguknya. Pak Zul tetap ceria dan tabah dalam perjuangannya melawan penyakit ganas tersebut. Pak Zul tak pernah putus asa dalam perjuangannya selama ini.
Dan penyakit itulah yang mengantar Bapak menuju Sang Khalik. Pak Zul meninggal di tanggal 29 Ramadhan, di sepertiga akhir bulan Ramadhan. Di mana Allah sudah menjanjikan pembebasan dari api neraka untuk ummat-Nya. Ya Allah Pak Zul, bahkan sampai Bapak meninggal, Bapak tetap luar biasa.
Ah, Pak Zul. Kami pasti rindu Bapak….
Akhir kata saya ingin mengucapkan sesuatu.
Empat tahun lalu, saat Morganaxis, angkatan saya, berpamitan di hari terakhir kami belajar, Pak Zul berkata “Saya senang pernah mengajar kalian.”
Kini, bolehlah kiranya kami semua membalas Bapak, “Pak Zul, kami sangat senang pernah dididik dan menjadi murid Bapak”
Selamat jalan Pak Zul.
Selamat jalan guru Matematika terhebat.
Selamat jalan pendidik terbaik.
Selamat jalan Ayahanda.
Selamat jalan Pak Zul.
Selamat jalan guru Matematika terhebat.
Selamat jalan pendidik terbaik.
Selamat jalan Ayahanda.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ [وَعَذَابِ النَّارِ]
Purwokerto, 29 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment