Wednesday, May 18, 2011

Sherlock (repost, gan!)



I love Sherlock Holmes. Salahkan komik Detektif Conan untuk itu. Saat SMP, rasa penasaran tentang tokoh rekaan Sir Arthur Conan Doyle ini mendorong saya untuk memesan novel ini setiap orangtua pergi ke Bandung untuk terapi Ammar. Saya masih ingat antusiasme yang muncul setiap mendapatkan novel barunya. Saya masih ingat rasa penasaran yang muncul setiap membaca ceritanya. Kasus kasus yang ditanganinya. Saya akan bergadang semalam suntuk untuk menghabiskan novel Sherlock Holmes. Menjadi depresi saat membaca seri Memoar Sherlock Holmes, di mana Holmes meninggal saat berjibaku dengan James Moriarty. Dan menjadi bersemangat saat mendapatkan seri Kembalinya Sherlock Holmes. Itu merupakan salah satu masa paling bahagia sepanjang hidup.

Makanya saya senang saat ada rilis film Sherlock Holmes. But, my….! Kenapa oh kenapa Sherlock harus diperankan oleh Robert Downey Jr? Bercanda ya! Sherlock yang orang Inggris diperankan oleh orang Amerika? Katakan ini bohong, Fernando Jose! Robert Downey Jr memang menawan saat memerankan Tony Stark di Iron Man. Sengak, sombong, dan playboy. But, seriously…dia tidak cocok untuk memerankan Sherlock Holmes. Bentukan fisiknya tidak cocok dengan deskripsi Holmes yang selama ini saya kenal. Dan karena otak saya tidak bisa menerima orang Amerika memerankan orang Inggris, maka saya tidak pernah menonton film garapan Guy Ritchie itu.

Sampai hari Minggu lalu, saya mendapati folder berjudul “Sherlock” di laptop seseorang berinisial AJP. Sherlock apa ini? Sherlock Holmes? Sherlock Holmes versi Inggris? Iya, katanya. Saya langsung copy folder itu. Besoknya saya tonton.

Seperti apa Sherlock Holmes jika dia hidup di abad 21? Inilah yang coba disodorkan miniseri produksi BBC ini. Yup, ini bukan “Sherlock Holmes” versi aslinya. Jadi ini bukan hasil adaptasi Sherlock Holmes dari karya Conan Doyle. Untuk itu, sudah ada serial “Sherlock Holmes” yang dibintangi oleh Jeremy Brett. Lebih tepat dikatakan jika “Sherlock” adalah interpretasi lain dari seri detektif paling terkenal di dunia ini. Walaupun begitu, tim produksinya berhasil memadukan pemikiran mereka dan tulisan Conan Doyle dalam miniseri ini.

And it turned out well. Very well. GREAT! BRILLIANT! EXCELLENT!

Miniseri ini “hanya” sepanjang 3 episode. Tapi sungguh mati, ini merupakan salah satu drama terbaik yang saya tonton. Melihat miniseri ini memang bagai mewujudkan imajinasi melihat sosok Sherlock Holmes di abad 21. Aneh tapi…tidak aneh. Dalam arti, mungkin Sherlock akan berlaku seperti itu jika di hidup di masa kini.

Mungkin aneh melihat Sherlock Holmes menggunakan Blackberry dan laptop sewaktu bekerja, tidak menggunakan topi fedora, dan memakai koyo nikotin (nicotine patches) untuk menggantikan pipanya, Atau mengetahui kenyataan jika The Science of Deduction adalah sebuah website ketimbang artikel di koran The Sun. Atau melihat John Watson mempublikasikan ceritanya di blog. Atau melihat mereka berkeliling London menggunakan taksi.

Tapi bahkan perubahan semacam itu masih membuat feelingnya tetap sama. Dia masih tinggal di 221 B Baker Street dan memainkan biolanya. Holmes masih asosial, eksentrik, nyentrik, dan sombong. Kemampuan deduksinya masih luar biasa. Dia masih punya hubungan benci-tapi-rindu dengan adiknya, Mycroft. Dan jangan lupa, masih ada James Moriarty, rival terbesarnya.

Ceritanya sendiri, seperti yang saya bilang, keren tingkat professor. Di setiap episode ada kasus yang harus dipecahkan Holmes. Di sini kerennya. Setiap kasus selalu terkait dengan satu atau dua cerita Holmes di novel Conan Doyle tapi (sekali lagi) melibatkan interpretasi baru yang dilakukan tim produksinya. Ambil contoh A Study in Pink (judulnya!) mengombinasikan cerita A Study in Scarlet dan Russian Roulette. Perubahan yang terjadi ada saja. Misalnya, jika kata “Rache” di kasus A Study in Scarlet adalah petunjuk yang mengungkapkan jika korbannya adalah orang keturunan Jerman, di sini kata itu adalah petunjuk yang merujuk pada “Rachel”. Atau Bruce-Partington yang bukan rencana kapal selam tapi rencana pembangunan misil. Brilian? Brilian sekali!

Dan ohh…Moriarty! Moriarty di sini adalah penjahat yang cerdas, misterius, dan psikopat. Ya…itu Moriarty yang kita kenal. Tapi tak hanya itu, duet Steven Moffats dan Mark Gatiss berani membuat James Moriarty menjadi pria metroseksual bahkan sempat dianggap Holmes sebagai seorang gay.

Dari sisi pemainnya, lagi-lagi saya harus angkat sepuluh jempol. Benedict Cumberbatch adalah sosok yang tepat untuk memerankan Holmes. Sosoknya tinggi menjulang. Wajahnya tirus, lonjong, dengan bola mata yang hampir abu-abu. Auranya flamboyan. Singkatnya, dia adalah perwujudan sempurna imej Sherlcok Holmes yang dideskripsikan Sir Arthur Conan Doyle dalam novelnya. Robert Downey Jr patut mengaku kalah untuk itu.



Benedict Cumberbatch = Sherlock dunia nyata

Sebagai kata akhir, saya sungguh senang mengetahui kabar akan ada lanjutan dari miniseri keren ini. Cukuplah jika dikatakan saya lonjak-lonjak saat membaca beritanya. Merujuk pada artikel di The Guardian, Mark Gatiss memberikan tiga kata kunci untuk season kedua “Sherlock”. Kata kucinya: Adler, Hound, dan Reichenbach. Itu berarti kasusnya akan diambil dari Scandal on Bohemian, Hounds of Baskerville, dan The Final Game. Wow! Tak sabar rasanya melihat sosok Irene Adler di sini. Seperti apa Irene Adler di abad 21? Apakah dia akan menjadi femme fatale? Kita lihat saja!

Uh…sepertinya saya harus ambil semua novel Sherlock Holmes di rumah. Yay, Panda!

1 comment:

  1. Saya juga sherlockian, saya juga Cumberbabe/The Cumber Collective. Btw Mycroft tuh kakaknya bkn adik.

    ReplyDelete