Sunday, May 27, 2012

Realis vs Surreaslis: FIFA vs PES

Final Liga Champion musim ini masih menyakitkan bagi saya. Bukan, saya bukan pendukung Muenchen. Saya pendukung Tottenham Hotspur yang memancing di air keruh dengan berharap kemenangan Muenchen. Karena eh karena jika Chelsea menjuarai turnamen paling prestisius di Eropa ini, maka Spurs, yang menduduki peringkat keempat di EPL, akan gagal menuju Liga Champions musim depan.

Dan kita akhirnya tahu kan hasilnya. Tapi yaudah lah ya mau demo ke UEFA juga rasanya tidak berguna. Jadi di hari itu saya main game seharian. Saya pikir kalo ga bisa direalisasikan di dunia nyata paling ga bisa bikin Spurs juara Champion di dunia tidak nyata game.

Makanya saya segera mengambil iPod dan memainkan FIFA di perangkat ini. Soalnya saya memang ingin membuktikan apakah Spurs mampu memenangi Champion. Dan ternyata mereka mampu.

Sudah setahun ini saya kembali bermain game sepakbola. Namun baru kali ini saya menikmati FIFA. Sebelumnya saya masih memilih memainkan PES  (Pro Evolution Soccer) dibanding FIFA. Tapi unsur realisme dalam FIFA memenangkan simpati saya.
"Kamu main game mau mencari realitas atau mau menikmati surrealisme?" 

itu ucapan Molvi, teman dari jurusan HI, suatu saat kami berdiskusi tentang FIFA dan PES. FIFA dan PES adalah dua aliran besar dalam genre game sepakbola. Ibarat Canon dan Nikon, kedua-duanya memiliki penggemar fanatik yang tidak jarang bersitegang.

I have to admit, saya adalah pemain PES saat namanya masih Winning Eleven. Game ini fully-customized dalam arti kamu bisa mengubah-ubah rating pemain dari awal dan melakukan transfer pemain dari klub satu ke klub lainnya. Belum lagi ada pilihan combo (dulu saya bilangnya jurus rahasia) yang bisa muncul jika kita memencet kombinasi tombol tertentu. Tentunya komentar heboh dalam bahasa Jepang juga menjadi daya tarik lainnya. Siapa sih yang tidak semangat saat si komentator berteriak "Shoooooooooot" atau "Gooooooru! Gooooru! Gooooooru!" sepanjang pertandingan.

Seiring dengan berlalunya waktu saya pensiun dari dunia perentalan PS dan mencoba game PC. Dari situlah saya berkenalan dengan FIFA. Impresi pertama saya adalah….frustasi. Saya sungguh frustasi dengan game lansiran EA Sport ini karena nggak pernah menang T.T .

Game ini menawarkan realita kerasnya bermain bola. Jika mau melewati bek lawan yang tangguh ya mesti pintar gocek. Jika mau mencetak gol ya mesti kasih umpan yang bagus dan posisikan striker di tempat yang tepat. Jika mau menang dalam penguasaan bola ya mbuh piye carane mesti tahu kapan ngegocek kapan mesti ngumpan. Dan lain-lain dan lain-lain. Di kemudian hari saya juga baru tahu jika game ini berdasarkan data pemain dan klub yang diambil dari performa asli di lapangan. Maklumlah dapat lisensi dari FIFA.

Setelah memasuki dunia iPod rasanya saya dosa jika tidak memasukkan PES di perangkat ini. Tapi setelah bermain dalam semua level dan menamatkan dua liga sekaligus ada sesuatu yang mengganjal. Kok gampang? Kok bisa-bisanya Sevilla bisa menang La Liga dengan rekor unbeaten padahal ada Barça dan Madrid di sana?

So I decided to play FIFA and yeah I like it better. 


Di FIFA 2010, saya memainkan Tottenham Hotspur dan di awal-awal mencoba untuk main secara santai (bukan main di mode liga). Dan yah, saya dibikin frustasi lagi. Bah, mau ngalahin Wolverhampton aja kayaknya susah bener! 

Setelah berkali-kali bereksperimen, akhirnya saya mengadopsi pola 4-3-1-2. Di mana Modric menjadi penyerang lubang di belakang duet Pavlyuchenko dan Keane. Perubahan lain yang saya lakukan adalah menarik Gareth Bale ke depan, menjadikannya pemain sayap kiri. And guess what? It works.

Dengan bekal itu saya menatap mantap ke kancah liga dan semuanya berjalan relatif mulus. Saya bilang relatif mulus karena Spurs tidak menang sepenuhnya dalam sepanjang pertandingan. Tercatat mereka dua kali imbang melawan Everton dan kalah dalam dua kali pertemuan dengan Arsenal dan MU. Oh well paling gak kami bisa mengalahkan City dan itu sudah lebih dari cukup.

But that's what I like about it. Game ini, sekali lagi, berbasis realita. Kita tahu, Spurs tahun 2010 akan susah mengalahkan Arsenal dan sangatlah mustahil mengalahkan MU. Tanpa kehadiran pemain luar biasa semacam Van Der Vaart, mengalahkan dua klub tersebut memang mendekati mustahil.

Tapi paling tidak Spurs menjuarai EPL dan Liga Champions di musim itu. Hehe.

Saya paham video game, sebagai bentuk media baru, memang menawarkan sensasi surrealis yang dibangun dalam dunianya. Dunia paralel yang memiliki dimensi berbeda dengan dunia yang kita diami sekarang. Namun saya ingin menikmati realisme yang ada dalam dunia yang surrealis ini.

Makanya saya lebih memilih FIFA.

BGM: Old Town - The Corrs.
Cemilan: Milo Fuze & Wafer Tango Vanilla

1 comment:

  1. Welcome to the club cum:D
    Dari smp aq jg fanboy ny WE, tp begitu 2008 kenal fifa berakhir sdh romantisme semu dg WE,halah
    Gameplay,grafis n lisence ny yg bikin fifa best sport game ever, lupakan patch we yg ngrepoti kui, blm lg online mode ny yg dewa abiiss
    Iso sak folio nek mbahas fifa vs pes haha, ayo tanding fifa nang omahku B-)

    ReplyDelete